Rabu, 26 Desember 2012

Lanjutan Cerita Lama


Keesokan harinya, tepatnya hari senin, aku harus menjalani rutinitasku. Ku gerakkan kakiku menuju ruang makan. Disana papa dan mama telah siap menungguku. Tapi aku acuh. Aku tak melirik sedikitpun meja makan. Berpamitan dan berangkat ke sekolah juga dengan malas.


"kenapa loe Cha? Murung banget. Sembab lagi. Habis banjir air mata semalam? Pasti ada masalah sama Rafa si oon itu yah? Hehehe," sapaan Avril menyembut kedatanganku di sekolah. Kutunjukkan wajah muramku.
"husst... Loe tuh Vril. Udah tahu Chacha lagi sedih, masih juga di bercandain. Kenapa Cha? Cerita dong sama kita!" Tya memandangku dengan wajah meyakinkan. Dia memang selalu menunjukkan sifat ketulusannya jika sahabatnya sedang gundah.
Namun sayangnya aku sudah malas bicara. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai cerita pada sahabatku ini.

"gue nggak di bolehin ikut acara Meet N Greet. Iiih gue tuh benci banget deh sama papa, mereka tuh nggak tahu keinginan gue.," aku mengawali ceritaku dengan sedikit emosi dan aliran air mata tiba-tiba.
Tya dan Avril diam sejenak.
"gue tuh pengen banget ikut acara itu. Loe berdua tahu kan kalau acara itu bener-bener berharga buat gue. Papa ngasih alasan yang nggak penting buat gue. Masa gara-gara takut kejadian yang lalu, gue nggak di bolehin," tambahku lagi, kali ini semakin deras aliran air mataku.

"yah mungkin aja emang bener kata bokap loe Cha. Artinya dia nggak mau lihat loe terluka kayak dulu lagi," Tya menanggapi curhatanku dan mendekapku, membiarkanku menangis dalam pelukannya.
"loe kok malah gitu? Kenapa malah dukung orang tua gue? Kejadian itu udah lama. Itu dulu. Sekarang dan dulu itu beda," jawabku bertambah emosi. Ku tegapkan tubuhku dan  kutunjukkan sirat kekecewaan dengan tanggapan Tya. Secara reflek Tya jadi gelagapan melihat tingkahku.

"maksudnya Tya bukan gitu Cha. Kita tuh emang pengen dukung loe, tapi......" belum sempat Avril melanjutkan omongannya, aku mencekatnya.
"tapi apa? Bilang aja kalau loe tetap membela keputusan bokap gue, iya kan? Udah ah gue pusing, percuma juga gue cerita ke loe," aku berlalu meninggalkan Tya dan Avril. Sambil tersengguk aku berlari masuk ke dalam kelas.
Sedangkan Avril dan Tya masih terbengong melihat tingkahku. Tiba-tiba muncul Rafa, menghampiri mereka.
"ngapain loe disini? Mana Chacha? Bukannya tadi disini bareng loe berdua?" Rafa mulai berkata.
"loe nanya apa ngrampok sih? Nanya satu-satu aja kenapa," Avril bersungut.
"tadi emang Chacha disini, tapi sekarang dia udah ke kelas duluan. Dia marah sama gue," kata Tya pelan.
"kenapa? Tumben?" Rafa kembali dengan wajah penuh selidik.
"jadi gini. Tadi Chacha datang dengan sedih. Terus dia cerita katanya dia nggak dibolehin bokapnya buat ikut acara idola itu. Yah gue sih cuman bilang kalau mungkin aja bokapnya bener. Eh malah dia salah paham. Dia bilang gue sama kayak bokapnya, nggak pernah ngerti kebahagiaan dia," Tya bercerita panjang lebar ke Rafa. Sementara Avril hanya sesekali mengangguk membenarkan omongan Tya.
"oh gitu ceritanya. Chacha emang keras kepala banget. Jujur aja gue juga setuju sama bokapnya. Dia itu nggak tahu kalau semua orang sayang sama dia. Ya udahlah, entar gue samperin dia. Kalau bisa, entar gue kasih penjelasan ke dia deh. Udah yuk masuk kelas! Mau bel juga," Rafa mengakhiri pembicaraannya. Tya dan Avril segera beranjak menuju kelas.

Pelajaran seharian ini kulalui dengan malas dan tak konsentrasi sama sekali. Pukul 15.00 bel tiba-tiba berbunyi pertanda pulang. Dengan malas kubereskan bukuku. Sementara guru dan beberapa siswa sudah keluar.

Rafa muncul di balik pintu kelas. Aku hanya meliriknya. Tya dan Avril juga hanya diam. Selama pelajaran tadi, aku memang hanya mendiamkan Avril dan Tya.
"hay Cha," sapa Rafa menghampiriku. Kubalas sapaannyz hanya dengan memandangnya sesaat tanpa berkata.
"Cha, Tya sama Avril udah ngasih tau kok kalau loe marah sama mereka. Jangan gitu dong Cha. Mereka nggak bermaksud apa-apa. Mereka cuman mau menghibur loe. Mereka nggak mau kalau loe sedih," Rafa panjang lebar berkata padaku. Tak kutanggapi dengan serius semua kata-katanya.
"udah ngomongnya? Bilang aja Raf kalau loe juga dukung keputusan bokap gue kayak mereka. Oke kalau emang mereka niat ngehibur gue. Tapi bukan dengan kayak gitu. Bukan malah ngebuat gue patah semangat. Udah lah, percuma juga gue ngomong sama loe bertiga. Di dunia ini emang nggak pernah ada orang yang ngerti kebahagiaan gue," aku masih ngotot dan emosi. Setelah berkata seperti itu pada Rafa, Tya dan Avril, aku setengah berlari meninggalkan kelas. Ku tahan air mataku. Entah kenapa sakit hatiku melihat semua orang tidak ada yang peduli dengan kebahagiaanku. Akupun pulang ke rumah dengan miris.

Sementara di kelas, Rafa, Tya dan Avril masih terdiam melihat tingkahku tadi. Hingga akhirnya Tya membuka perbincangan.
"gue makin pusing ngadepin Chacha,"
"iya, gue juga. Tapi gue juga ngerasain sih gimana perasaan Chacha. Loe berdua tahu kan dia tuh bener-bener udah seneng bakal ikut acara itu. Sampai-sampai udah disiapin semuanya. Eh ujung-ujungnya dia nggak dibolehin. Gue juga bisa ngerasain gimana sakitnya kalau sesuatu yang bikin kita bahagia tapi malah ditentang orang lain. Loe tahu nggak, dia bela-belain buat kado spesial hanya untuk acara itu," ujar Rafa kemudian.
Read More

Mereka bertiga masih terhanyut dalam pikiran masing-masing.
"tunggu-tunggu. Loe tadi bilang kado kan Raf? Loe berdua inget nggak kalau lusa itu ulang tahunnya si Chacha. Gara-gara loe bilang kado gue jadi inget itu," kata Avril dengan girangnya.
"oh iya, gue lupa. Untung aja loe ingetin," tukas Rafa layaknya baru sadar dari pingsan.
"iya, gue juga lupa. Tapi sama aja lah. Sekarang Chacha marah sama kita, terus kita jadi nggak bisa dong ngasih surprize buat dia," kata Tya dengan lemah.
"aha, gue punya ide. Oke, mungkin sekarang si Chacha marah sama kita gara-gara kita nggak dukung dia. Tap dari situ kita bisa buktiin kalau kita mensupport dia. Kita kasih dia kado special," Avril dengan semangatnya bicara.
"maksud loe apaan sih Vril? Kado spesial gimana maksud loe?" tanya Rafa yang disambut anggukan kepala oleh Tya.
"aduuh loe berdua nggak cerdas sih. Gini yah, kita bisa kasih kado spesial ke Chacha dengan cara tetap mempertemukan dia dengan idolanya, kak Aryani itu. Gue yakin dia bakal seneng dan nggak nyangka banget," ujar Avril lagi.
Sejenak Tya dan Rafa termenung.
"ide bagus sih? Tapi gimana caranya buat Chacha senang dan semangat lagi?"
Avril diam berpikir.
"ini sebenernya moment terbaik kita. Kita kerjain aja si Chacha. Kita pura-pura nggak inget ultahnya. Tapi setelah itu buat kejutan ke dia dengan mendatangkan idolanya. Gimana menurut loe?" kata Avril bersemangat.
"ide bagus. Tapi emang bisa gitu janjian sama si Aryani itu buat ngasih surprise ke Chacha? nggak segampang itu juga kali," kata Tya diikuti anggukan kepala Rafa, membenarkan perkataan Tya.
"berarti kita datang aja ke acara Meet N Greet itu. Terus kita ngomong tentang rencana kita. Entah kenapa gue yakin, selama kita punya niat dan sungguh-sungguh, pasti banyak jalan menuju Roma. Hehehe," kata Avril mantap. Seketika Tya membenarkan omongan Avril.
"emang loe kira mau jalan-jalan ke Italia? Pake nyebut Roma segala," kata Rafa yang sontak membuat Tya dan Avril tertawa. Rencana merekapun tersusun tanpa sepengetahuanku.


Hari-hari berlalu. Dan hari ni adalah hari dimana acara jumpa fans itu diadain. Sore ni aku hanya bisa membayangkan mengikuti acara itu. Miris sebenarnya. Ku baringkan tubuhku di kamar. Beberapa jam setelah pulang sekolah tadi, tidak ada aktivitas lain yang ku kerjakan selain rebahan di tempat tidurku.
Ku rasakan hari ini adalah hari paling nggak enak selama hidupku. Air mata ini telah habis terkuras.
Tanpa kusadari, mata ini telah terkatup dan membuaku berlayar ke pulau kapuk di sore hari.


Kriingg kriingg kriingg...
Suara alarm handphone berbunyi. Kupaksakan diriku untuk menengoknya. Dan terkejutku saat melihat layar handphoneku.
'My birthday_17'
air mataku luluh seketika. Ternyata hari ini seharusnya adalah hari bahagiaku. Namun....
Ah, sudahlah. Kurebahkan diriku kembali. Membenamkan diri dalam bantal kesayanganku. Setahun lalu bukan kesepian seperti ini yang kurasakan. Aku kembali mengingat moment ulang tahunku setahun lalu. Dan hari ini aku hanya bisa menyemangati diriku sendiri.
"Happy birthday Chacha," ucapku lemah. Ku kembali tertidur.

Sinar mentari membangunkanku pagi ini. Bertemu dengan aktivitas sekolah. Ku langkahkan kakiku payau. Aku masih berharap ada orang yang ingat hari bahagiaku ini. Tapi yang kuharapkan tak terjadi. Mama dan papa tak mengungkit sedikitpun tentang itu. Di meja makan, kita bertiga hanya diam. Kusembunyikan dan kutahan air mataku agar tak tumpah. Aku berangkat sekolah dengan muram, begitu pula saat ku pijakkan kaki di sekolah, rasanya hambar. Aku semakin menyadari bahwa Tya dan Avril adalah sebagian hidupku. Aku semakin lemah tanpa mereka. Tapi aku telah membesarkan egoku, juga mereka, yang tak mau mengerti kebahagiaanku.

Hingga suasana kelas sontak mengagetkanku. Banyak siswa yang datang memberondongku dengan ucapan selamat dan uluran tangan. Ada kebahagiaan juga. Kusambut mereka dengan senyum terindahku. Walau masih miris karena justru orang-orang terdekatku tidak melakukan ini. lima menit sebelum bel berbunyi, aku sudah merapikan badanku di bangku. Setelah itu kulihat Avril dan Tya datang.
"semoga mereka ingat sama gue," bisikku dalam hati.
Namun sayangnya harapan itu tak terwujud. Hingga akhir pelajaran hari ini, tidak ada satu kata pun terucap dari mereka untukku. Kusaksikan mereka pulang lebih cepat dari kebiasaannya tanpa peduli denganku.
“ya sudahlah," batinku dalam hati.

"mereka memang sudah nggak peduli sama gue dan didunia ini memang gue di takdirkan hidup sendiri. Saat ini, kenapa gue harus ngerasa sedih. Apa memang gue nggak berarti buat mereka, Tuhan? Apa ini semua salahku Tuhan?" kataku sembari duduk termenung di tepi danau kesukaanku. Setelah pulang sekolah tadi, ku putuskan untuk pergi ke tempat ini. Tempat dimana aku selalu merasakan ketentraman walau sendiri. Ku lemparkan batu kecil di dekat tempat dudukku ke tengah danau. Berharap penat ini luntur dan berharap mendapat jawaban dari aduhanku pada Tuhan.

Langit telah berubah menjadi mega yang menandakan petang telah datang. Setelah puas, aku beranjak pulang. Ketentraman hati sedikit kurasakan walau tak tahu bagaimana aku nanti. Tepat pukul 18.30 aku sampai di rumah. Tapi aneh, rumah gelap. Ku langkahkan kakiku masuk. Menengok-menengok ke sekeliling sebelum masuk ke dalam. Kubuka pintu dan tidak terkunci.
"aneh banget. Rumah kayak nggak ada penghuninya. Kemana sih bibi Sumi," sungutku pelan. Aku mencoba masuk dan meraba dinding berharap menemukan sakelar lampu dan berhasil. Lampu nyala dan aku sungguh-sungguh terkejut melihat surprise papa mama.

"happy birthday sayang. Happy sweet 17 th," ucap mama pertama kali sambil merangkulku. Begitu pula papa yang mendekapku. Aku bahagia berlinang air mata.
"Maafkan mama sama papa ya sayang karena dari kemarin udah ngebuat kamu cemberut," kata mama sambil menuntunku duduk setelah tiup lilin kue yang udah disediain.
"jadi mama sama papa udah ngerencanain ini semua?" kataku sedikit muram tapi bahagia. Mama dan papa hanya mengangguk sembari tersenyum.
"jahat banget. Aku kira mama sama papa udah nggak inget lagi sama ultahku," kataku lagi menunjukkan raut kemarahan.
"hehehe ya nggak lah sayang, nggak mungkin lupa. Malah papa sama mama udah nyiapin semuanya. Tuh tanya ke bi Sumi! iya kan bi?" papa meyakinkanku dengan nada bicara terbaiknya. Saat beginilah sosok papa yang kuidolakan.
"iya non. Bibi udah nyiapin makan malam spesial buat non. Selamat ulang tahun yang non Chacha," Kusambut perkataan bi Sumi tadi dengan merangkulnya. Dia bukan hanya seorang pembantu, tapi aku menganggapnya sebagai bagian dari keluarga ini.
Sekarang kebahagiaan yang kuharapkan tadi telah kudapatkan. Senyum menghiasi bibir mungilku. Apalagi saat kubuka kado yang disiapkan mama papa buatku.

Setelah itu, papa mengajakku segera menuju meja makan. Dan terkejutku melihat meja makan yang penuh dengan makanan kesukaanku dan hidangan istimewa lain.
"banyak banget Ma makanannya? Kita nggak lagi ada pesta kan?" tanyaku termangu.
"ya nggak lah sayang. Ini khusus buat kamu dan teman-temanmu," perkataan mama tadi membuatku kembali mengingat Tya dan Avril. Mereka memang benar tidak ingat denganku.
"Mereka nggak mungkin kesini Ma. Inget ultahku aja nggak," aku memelas.

"kata siapa?" sahutan suara di pintu ruang makan. Suara orang-orang yang kuharapkan kini ku dengar. Yupz. Tya dan Avril mengagetkanku. Aku tersenyum simpul kepada mereka. Sementara mereka tertawa puas dengan sebuah kue bertuliskan nama dan usiaku. Aku mendekati mereka. Air mataku meluncur tiba-tiba. Tya dan Avril kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku. Menyuruhku meniup lilin khusus itu. Kulakukan semuanya dan kurangkul mereka erat-erat.
"happy birthday yah Chachaku sayang. Kita berdua selalu sayang sama loe," kata Tya saat aku masih berada di pelukannya. Aku sesenggukan.
"udah dong Chacha. Bukan Chacha yang cengeng yang selama ini gue kenal," kata Avril juga. aku tetap tak kuasa menahan air mata. Bahagia kini membuatku tak bisa berkata.
"loe berdua jahat banget. Seneng loe liat gue kesel tadi pagi?" kataku di sela-sela sesenggukan.
"maafin kita dong Chacha. Kita nggak bakal kok lupain loe. Kita juga nggak enak tahu harus diamin loe terus. Tapi ini udah kesepakatan kita bertiga buat ngerjain loe. Hehe maaf yah," Tya berkata dengan tulus sembari menyeka air mataku. Sontak aku teringat dengan Rafa. "Apa dia nggak mau kesini?" tanyaku dalam hati.
"Rafa jahat. Dia nggak datang kesini. Padahal gue berharap banget dapet ucapan dari dia," kataku agak tak bersemangat.
"Rafa ada kok. Tapi ada syaratnya kalau loe mau ketemu dia. Ini,..." kata Avril sambil mengeluarkan kain penutup mata dari sakunya dan memasangkannya secara langsung padaku.
"apaan sih pakai ditutup segala,"
"sstt diem. Pokoknya surprise banget," secara memaksa pula, Avril dan Tya menggeretku keluar rumah. Dan entah kenapa sunyi banget. Sesaat kemudian, entah Tya atau Avril yang membuka penutup mataku. Deg-degan melandaku saat ini. Dan benar saat perlahan ku buka mata.
"happy birthday Chacha, happy birthday Chacha, happy birthday happy birthday Chacha," suara itu membuat hampir jatuh tak sadarkan diri. Seorang perempuan cantik yang kuidolakan selama ini ada di hadapanku. Jantungku kian berpacu. Aku semakin linglung dan seperti orang bisu beberapa saat sebelum air mataku kembali luruh.
"kak Ryan," suaraku lantang dan kupeluk idolaku itu dengan erat. Kak Ryan tersenyum padaku dan membalas dekapanku dengan erat.
"Kak Ryan, aku nggak nyangka bisa ketemu sama kakak. Aku nggak pernah mimpi ketemu kakak di saat bahagia kayak gini. Terima kasih kakak," kembali suaraku parau di tengah dekapan.
"iya. Kakak juga seneng bisa ketemu sama kamu. Berterima kasihlah sama temen-temen kamu. Karena mereka bisa meyakinkan kakak buat ketemu sama kamu. Selamat ulang tahun buat Chacha. Yang kakak tahu kamu orang yang selalu optimis. Dan bukan orang yang cengeng. Jadi jangan nangis lagi di hari bahagiamu ini," kata-kata seorang Aryani Fitriana yang semakin membuatku tak kuasa menahan air mata bahagia.

"jangan lupain gue dong! Gue udah berjasa jemput idola loe kesini. Masa nggak ada terima kasih buat gue?" Rafa memunculkan batang hidungnya. Mendengar suara Rafa tadi, aku segera menyimpulkan senyum terindahku pada Rafa. Kulangkahkan kaki menghampiri dia dan kupeluk dia.
"gue nggak nyangka Raf kalau loe masih bener-bener peduli sama gue. Gue nggak nyangka kalau loe tahu apa yang ngebuat gue bahagia. Maafin gue ya Raf, kemarin-kemarin gue nyepelein omongan loe," suaraku tetap parau. Mencoba bicara di tengah derasnya air mata dalam dekapan Rafa.
"udah-udah Cha. nggak malu loe nangis mulu. Masa gue udah bawain idola loe kesini, loe nya malah nangis mulu. nggak seru ah. Hehe," tanggapan Rafa tak serius. Aku yang tahu Rafa tak mengahargai keseriusanku bicara, aku manyun padanya. Tapi dia hanya tersenyum. Jahat banget.
"udah-udah. Mendingan kita masuk dulu. Kasihan, masa seorang artis profesional disuruh nunggu lama-lama gini. Udah ayo masuk! Makanan udah pada demo tuh minta segera dimakan," kata Mama mengalihkan pembicaraan. Segera kami semua mengikuti langkahnya masuk dalam rumah. Sungguh-sungguh bahagia hari ini. Tak pernah kusangka kalau idolaku, seorang Aryani Fitriana bersedia datang ke rumahku dan menyantap hidangan bersamaku.

"jadi mama sama papa udah tahu tentang kejutan ini?" kataku di sela-sela makan bersama itu. Sementara papa dan mama hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Setelah itu makan malam ini berlangsung dengan sangat bahagia. Papa juga menceritakan kepada kak Aryani tentang keinginanku ikut acara kemarin, tapi beliau nggak memberi ijin.

Beberapa lama kemudian, kak Ryan pamit kembali ke lokasi syutingnya. Akupun melepasnya dengan lapang dada padahal masih pengen bercakap-cakap dengannya. Tapi memang nggak semudah itu. Setelah puas mendokumentasikan moment ini, aku memeluk kak Ryan lagi. Mengucapkan terima kasih dan memberikan kado yang udah kusiapin buat acara kemarin. Bahagia kurasa. Aku mendapat kado pin Black Berry  idolaku. Surga dunia bagiku.
Setelah itu aku melanjutkan ngobrol dengan Tya, Avril dan Rafa di dalam rumah. Aku memaksa mereka menceritakan bagaimana caranya membawa kak Aryani kesini.
"gimana ceritanya sih? Kok kalian bisa membujuk seorang artis buat nemuin fansnya. Langsung ke rumahnya lagi,"
"yaiyalah. Siapa dulu dong? Kita. Iya nggak?" kata Rafa sembari asyik bermain Black Berryku. Aku mendapat kado sebuah Handphone Black Berry dari papa.
"panjang ceritanya Cha. Ini sebenarnya idenya Avril. Awalnya sih kita pesimis. nggak yakin sama sekali, tapi dengan kePD'an diri, akhirnya kita dating di acara itu. Ngobrol langsung sama Kak Aryani itu," kata Tya panjang lebar.
"jadi loe datang ke acara Meet N Greet itu?" tanyaku antusias. Avril dan Tya menanggapi dengan anggukan sementara Rafa tak bergeming, terlalu asyik mengoperasikan handphone.
"yahhh.... Padahal gue yang ada niat ikut acara itu, malah loe semua yang bisa kesana. nggak adil bgt," bicaraku kali ini terdengar lesu.
"hehe jangan gitu juga dong. Bukannya nggak adil. Emang belum jalannya aja. Makanya gue punya surprise tadi buat mengganti acara loe yang nggak kesampaian. Bukannya malah lebih berkesan?" Avril menanggapi.
"iya Cha. Kita juga butuh perjuangan loh buat itu. Loe tahu nggak, kita tuh sempet ditolak havis-habisan sama managernya kak Aryani. Yang bilang katanya kak Ryan sibuk lah, apalah, yang pasti dia nggka setuju. Tapi untungnya kita punya seribu cara buat ngebujuk dan yang lebih untung, kak Ryan itu yang baik banget. Dia peduli banget sama fansnya," kta Tya lagi.
"udahlah Cha, panjang deh ceritanya. Yang penting kan kita udah berhasil mewujudkan impian loe. Dan juga jadiin introspeksi bahwa Tuhan itu mengabulkan permintaan kita di saat yang tepat. Jangan keburu emosi dalam menghadapi masalah," kata Rafa, kali ini dengan nada serius.
"iya, gue sadar kok kalau gue salah sama loe bertiga. Gue terlanjur keras kepala sampai-sampai nggak tahu mana yang benar mana yang salah. Gue minta maaf yah sama loe bertiga. Selama ini gue egois," kataku sambil sedikit menunduk.
"iya kok Cha. Kita sama-sama maafin. Maafin kita juga soalnya kita itu nggak sadar kalau apa yang membuat kita bahagia dan kita nggak bisa dapatkan itu, sama aja semangat kita jadi hilang. Malah kita yang terima kasih loh. Gara-gara loe gue jadi dapat kaos di acara Meet N Greet itu, makan gratis pula. Gue juga jadi ngefans sama kak Aryani Fitriana. Hehe," kata Avril sambil senyum-senyum. Begitu pula dengan Tya dan Rafa.
"ihh, loe bertiga cuma iming-iming gue. Makanya jangan ngerendahin idola gue dulu. Sekarang loe malah ngefans kan. Eh, kasih ke gue aja dong kaosnya! Boleh yah?" kataku memohon.
"hehe tenang. Kita udah punya satu buat loe," kata Tya. Akhirnya kita bertiga asyik ngelanjutin pembicaraan malam itu.

#end#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar