Sabtu, 29 Desember 2012

karya isengku

MASIH ADA DIA DI SAMPINGKU

 

Kubenamkan tubuhku dalam bantal. Aku Paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Kegaduhan diluar semakin membuat beban di kepalaku kian membuncah. Kupaksakan mataku terpejam dan akhirnya berhasil terlelap.

Esoknya pagi-pagi sekali aku sudah melangkahkan kaki melewati koridor sekolah. Jam masih menunjukkan pukul 06.15, masih terlalu pagi untuk anak-anak sekolah.

"Sherly". Suara dari kejauhan mengagetkanku. Kucari siapa yang memanggilku.

"Hai, tumben udah datang?" sapaku pada Doni, seseorang yang memanggilku tadi yang sekarang telah ada disampingku.

"Yaelah. Gue udah bela-belain berangkat sepagi ini cuman buat ini. Nih tugas kelompok kita," kata Doni.

"Haduh, sorry yah. Jadi loe yang ngerjain. Hehe makasih," tanggapanku pada Doni.

"Udahlah. Nggak apa-apa gue yang ngerjain juga. Oh iya loe udah sarapan? Pasti belum kan? Ikut gue sarapan di kantin yuk! gue yang nraktir," kata Doni lagi. Kali ini dengan menarik tanganku secara langsung tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. Aku pun tak bisa menolak.

 

Dikantin kali ini masih sepi. Doni mengajakku duduk di bangku kantin dan memesan sepiring mie instan untuk sarapan pagi ini.

"Tumben loe nraktir? Dapat rejeki nomplok?" kataku disela-sela makan.

"Nggak lah. Cuman dapat rejeki sedikit aja tadi. Lagian gue udah tahu kalau loe pasti belum makan. Iya kan? Gue kuatir loe pingsan lagi kayak kemarin-kemarin," kata Doni sambil tetap makan.

"Nggak usah kuatirin gue," jawabku singkat.

"Tunggu-tunggu, loe semalem nangis yah? Mata agak bengkak gitu. Kenapa loe? Patah hati?" tanya Doni sambil memperhatikanku sejenak.

"Apaan sih loe? Ya nggak lah. Semalem juga nggak nangis, cuman kurang tidur," jawabku. Kali ini aku terpaksa berbohong pada Doni, padahal semalam suntuk aku nangis dan nggak bisa tidur.

Read More...

"Pagi Sherly," sapa Marsha yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku.

"Gue nggak di sapa? Ada gue juga kali," kata Doni pada Marsya.

"Ahh peduli amat sama loe," kata Marsya dengan datar. Wajahnya muram. Sementara aku hanya tersenyum melihat ekspresi Doni.

"Loe kenapa Sya? Wajah butek kayak gitu. Ada masalah? cerita aja lagi!" tanyaku pada Marsya sambil sejenak menghentikan makanku. Sementara Marsya malah menutup muka dengan kedua tangannya. Wajahnya tersirat luka, aku tahu itu dan aku memaksanya untuk bercerita.

"Ayo dong cerita Sya! Masih ada gue disini yang mau dengerin unek-unek loe" setelah aku mengatakan itu dengan serius, Marsya pun tergerak untuk bercerita.

"Gue diputusin sama cowok gue Sher. Padahal gue masih sayang banget sama dia. Tapi...." belum sempat melanjutkan perkataannya, Marsya sudah tak kuasa menahan air matanya. Aku yang melihat itu, mencoba mendekapnya.

"Yaelah loe Sya, masalah loe gitu-gitu mulu. Bosen gue," samber Doni. Aku memelototi Doni seketika, memberikan tanda bahwa perkataannya tadi sungguh tak tepat.

"Iya deh. Sorry. Emangnya kenapa loe kok sampai diputusin?" kata Doni lagi tapi kali ini agak serius.

"Iya sih, salah gue emang. Dia tahu kalau gue masih berhubungan sama mantan gue. Kemarin dia tahu kalau gue jalan sama mantan gue," kata Marsya terbata-bata ditengah tangisnya yang makin menggema.

"Hmm.. itu sih salah loe Sya. Siapa suruh loe berhubungan sama mantan loe," cibir Doni.

"Tapi kan gue cuman temenan sama mantan gue. Nggak lebih lah," Marsya tetep ngotot.

"Ya udah deh. Menurut gue mending gini aja. Loe bilang ke cowok loe itu yang sebenernya kayak gimana. Penjelasan loe kan bisa jadi penyelesai masalah kan? Kalau loe nggak bisa jelasin, gue juga bisa bantu," tawarku dan saranku pada Marsya. Yang kemudian Marsya tampak tersenyum dan membenarkan saranku tadi.

"Nggak usah Sher. Saran loe tadi udah cukup buat gue. Gue bisa lakuin sendiri. Makasih yah buat sarannya. Gue beruntung banget dapat sahabat kayak loe," kata Marsya lagi sembari memelukku.

"Gue nggak dipeluk juga?" kata Doni kemudian dengan cengengesan. Marsya hanya cemberut. Sementara bel berbunyi 5 menit lagi. Kami memastikan kembali ke kelas.Top of FormBottom of Form

 

Bel masuk telah berbunyi sekitar semenit yang lalu. Seorang guru bernama bu Yesi memasuki kelas dengan gayanya yang seakan-akan masih gadis.

"Selamat pagi anak-anak," sapanya sembari duduk di kursinya. Belum sempat meneruskan kembali berbicara, seorang siswi menampakkan mukanya di pintu dan mendekat ke meja bu Yesi.

"Maaf bu.. Saya telat. Tadi ban mobil saya kempes ditengah jalan. Jadi....." kata Sania, seorang siswi yang baru datang itu. Belum sempat Sania menjelaskan alasannya, bu Yesi sudah menyuruhnya duduk.

"Oke anak-anak. Beberapa hari yang lalu, ibu memberikan tugas ke kalian. Dan sekarang tugas itu silahkan dikumpulkan!" kata bu Yesi lagi.

"Eh, Sher, mana tugas kita," tanya Sania padaku. Tugas yang tadi pagi dibawa Doni adalah tugas kelompok kita bertiga yaitu aku, Doni dan Sania. Aku menyerahkan hasil tugas itu ke Sania. Dia yg membawanya ke bu Yesi. Setelah tugas terkumpul, bu Yesi memeriksa dan membaca hasil tugas itu. Beberapa lama kemudian, dia menginformasikan hasil tugas kelompok yang terbaik.

"Ibu sudah melihat tugas kalian semua, dan ibu ucapkan selamat kepada kelompoknya Sania karena tugas mereka adalah yang terbaik. Dan kalian anak-anak, patutlah kalian mencontoh Sania. Dia adalah siswi yang cantik, tidak sombong, dan pandai. Selalu tepat dalam mengerjakan tugas. Itu yang harus kalian contoh. Berikan tepuk tangan untuk Sania!" kata bu Yesi panjang lebar. Bu Yesi memang sangat membanggakan Sania. Dia selalu mengungkit-ungkit keunggulan Sania terutama dalam hal kecantikan. Sania telah menjadi juara kontes kecantikan sekolah dan menjadi Ratu Promnight tahun ini di sekolah. Selain itu, Papanya adalah donator terbesar di sekolah. Semua siswa di kelas bertepuk tangan kecuali Doni. Aku melihatnya malah tersenyum kecut sembari memandang Sania.

Bel berbunyi, istirahat tiba. Aku sudah berada di kantin bersama Doni dan teman-teman lain.

"Kenapa loe tadi malah nggak suka pas tugas kita dapat reward terbaik?" tanyaku pada Doni di sela-sela makan.

"Yaelah. Loe tahu nggak, gue malah muak banget liat tadi itu. Loe apa nggak nyadar Sher? Itu tugas kita yang ngerjain. Dia ngapain coba? Gue nggak rela dia yang dibanggain," kata Doni dengan kesalnya. Aku paham pemikiran Doni dan akupun sempat berpikiran seperti itu.

"Iya sih, tapi kan dia juga yang cari bahan buat tugas wawancara itu kan? Udahlah, toh kita juga dapat nilai dan nama baik," jawabku santai.

"Loe emang kayak gitu Sher. Nggak pernah kesel sama orang lain. Walaupun si Sania itu sahabat loe, tapi loe juga harus mikirin gimana perasaan loe. Jangan ngalah mulu sama tuh anak," kata Doni lagi. Tiba-tiba Sania dan Marsya datang menemuiku dan Doni.

"Hai Don, kok nggak ngajak-ngajak sih tadi kalau mau kesini," kata Sania pada Doni yang tetap enak makan.

"Sorry, gue laper tadi," kata Doni sedikit acuh.

"Eh Sher, loe bisa bantu gue nggak?" kata Sania yg kali ini menatapku.

“Ya kalau gue bisa bantu, pasti gue bantuin. Emang apa?"

"Entar deh gue kasih tau. Gue berharap banget loe bisa bantu gue," kata Sania.

"Ehh Sher, gue balik duluan yah. Mau ke toilet juga. Bye," Doni memutuskan untuk pergi. Aku merasa aneh dengan sikapnya yang setiap ada Sania, dia pasti akan mencoba menjauh. Padahal Doni sempat terang-terangan mengatakan bahwa ia mencintai si Ratu Prom itu.

"Hmmm... Gue bilang langsung aja ke loe. Jadi gini, loe bantuin gue buat deket dong sama si Doni. Ya istilahnya comblangin gitu lah. Loe kan jago masalah gitu," kata Sania yang seketika menghentakkan pikiranku. Seorang Sania yg dulu dengan terang-terangan menolak Doni, sekarang dia menginginkan kedekatan.

"Loe gila San. Dulu aja mati-matian loe tolak dia. Sekarang loe malah minta dideketin," Marsya kali ini angkat bicara.

"Iya sih. Gue baru nyadar kalau Doni itu ganteng. Hehe. Yah walaupun seharusnya gue nggak perlu minta bantuan buat ngedekatin sih. Tapi dia beda sikapnya ke gue," kata Sania.

"Terus cowok loe gimana?" tanyaku kali ini.

"Gue kan udah putus Sherly sayang. Gue tuh pusing tau nggak. Banyak orang komplek yang minta gue supaya jadi menantunya lah, jadi pacarnya lah. Bingung gue"

"Idih, PD banget sih loe San. Kayak loe itu makhluk tuhan paling cantik aja," kata Marsya menanggapi perkataan Sania yang terkesan sombong.

"Yah, tapi kenyataannya emang gitu. Semua orang nganggep gue cantik. Banyak kok yang bilang," kata Sania tetap membanggakan diri. Satu sifat Sania adalah terlalu membanggakan dirinya. Memang sih, Sania itu cewek cantik saentro sekolah. Dia juga selalu dipuja oleh kaum pria.

"Udah-udah. Ya entar gue bantuin loe lah San. Gampang masalah gitu aja. Udah yuk ke kelas, mau masuk juga," aku mengakhiri pembicaraanku dan mengajak mereka kembali ke kelas.

Seharian di sekolah membuatku senang. Setelah jam pulang berdentang, aku masih gundah untuk melanjutkan langkahku ke rumah. Setelah itu kuputuskan untuk menghabiskan waktu sejenak di tempat favoritku. Tak jauh dari sekolah ini, ada sebuah bangku taman lengkap dengan tamannya yang indah. Disana aku sering melipur laraku sendiri. Lebih tepatnya menyepi. Kadang juga kuhabiskan waktuku untuk membaca ataupun yang lain selama hal itu dapat menyenangkan. Tepat pukul 17.30 aku memutuskan untuk pulang. Kulangkahkan kaki dengan berat. Tiba di depan pintu rumah, suara-suara itu menyergapku lagi. Seketika aku luluh dan perih. Aku memantapkan hatiku untuk masuk ke dalam walaupun aku sudah tahu pemandangan tak sedap itu.

"Tuh lihat anak kamu! Siapa yg mengajari dia sampai dia nggak tahu waktu. Jam segini baru pulang. Itu atas didikkanmu Ma," suara Papa menghentakkan langkahku seketika. Kupandangi Mama dan Papa yg sedang berwajah emosi, berdiri dengan saling menyalahkan. Pemandangan ini sudah bosan kulihat. Aku hanya bisa mematung dan merasakan sakit.

"Enak saja kamu bilang begitu. Itu juga anak kamu. Keturunan kamu. Dia mewarisi sifatmu yang jelek itu Pa. Nggak seharusnya menyalahkan aku," kata Mama membantah Papa. Keributan terjadi lagi. Aku melangkah pergi ke dalam kamar dan di kamarlah aku menumpahkan segala amarahku. Telingaku terasa sakit mendengar cekcok orang tuaku. Aku menyumpatnya dengan bantal dan segera memejamkan mata. Semalam ini kupaksakan mataku terpejam namun tak berhasil. Air mataku kian berlinang mendengar cekcok Mama Papa yang kian menjadi.

"Aku lelah harus seperti ini Tuhan. Aku benci dengan mereka. Ambillah aku saja agar aku tak menghadapi ini," tangisku semakin deras. Aku frustasi dengan keadaan ini.
Jam menunjukkan pukul 02.00 pagi, aku baru berhasil terlelap.

Esok paginya, aku dengan tergesa-gesa melangkah memasuki sekolah, 3 menit lagi jam masuk. Akupun sedikit berlari dan dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam kelas. Keberuntungan menyapaku. Guru menoleransi keterlambatanku tanpa hukuman.

"PR kalian silahkan dikumpulkan!" perintah bapak guru tiba-tiba, sementara aku masih mengatur nafas yang tadi tersengal. Perintah itu juga mengagetkanku. bodoh. Gue belum ngerjain kataku dalam hati. Aku benar-benar menyalahkan diriku yg semalam hanya menangis. Akupun terpaksa menerima hukuman dari pak guru.

 

"Loe kenapa sih Sher?" tanya Doni saat aku sedang duduk dibangku depan kelas. Doni menghampiriku dan duduk disebelahku. Jam istirahat telah berlaku sejak 5 menit yang lalu. Setelah puas mendapat hukuman berdiri di depan tiang bendera karena lalai mengerjakan tugas tadi, aku segera menuju ke kelas dan duduk did depan kelas berharap dahag hilang dari tubuhku dan semua energiku kembali.

“Gue nggak apa-apa kok,” jawabku singkat

"Halah, loe nggak usah bohong lah sama gue. Loe semalem nangis lagi kan? Loe datang terlambat dengan mata bengkak habis nangis, loe juga nggak ngerjain tugas. Bukan Sherly yang gue kenal dulu," kata Doni ingin tahu tentang keganjilanku hari ini.

"Ahh, loe aja lebay. Gue nggak apa-apa. Semalem emang nangis gara-gara liat film, terus gara-gara film itu juga gue lupa ngerjain PR dan bangun kesiangan. Udahlah nyantai aja," jawabku lagi dengan enteng. Aku terpaksa berbohong pada Doni.

"Ya untung lah kalau loe nggak ada masalah. Gue kuatir banget kalau loe kenapa-kenapa," Doni menunjukkan kepeduliannya sembari menatapku lekat.

"Loe tuh alay banget yah Don. Udah gue bilang gue nggak apa-apa, eh sekarang malah mandang gue kayak gitu. Kenapa sih? Biasa ajalah," kataku agak canggung.

"Eh Sher, sebenernya gue pengen ngungkapin sesuatu sama loe," kata Doni lagi, kali ini dengan mimik serius. Aku juga ikut gelagapan.

"Ngungkapin apa?" aku ingin tahu.

"Mau ngomong apa?" tanyaku pada Doni yang sedari tadi lekat menatapku.

"Sebenernya gue pengen banget bisa jadi temen deket loe," kata Doni mantap.

"Yaelah. Dari dulu gue juga udah anggep loe temen deket gue kali. Udah ah tenang aja. Gue masuk dulu yah. Bye," timpalku enteng pada Doni. Aku memutuskan untuk pergi walaupun aku tahu ada sarat kecewa di rautnya.

 

"Ohhh... Gue baru tau yah. Ternyata loe itu penghianat. Dasar, pinter banget loe nyembunyiin rencana busuk loe." Sania melabrakku tiba-tiba, sesaat setelah jam pulang bergeming. Kelas telah lengang, tinggal aku, Sania dan Marsya.

“Maksud loe apa San?” tanyaku kelimpungan. Perkataannya yang secara tiba-tiba, membuatku kaget. Hingga kuhentikan aktivitasku merapikan buku dan meladeni Sania.

"Loe munafik Sher. Loe cuman ngumbar-ngumbar janji doang. Sok baik, sok care ke semua orang. Maksud loe apa? Loe bilang loe mau deketin gue sama si Doni. Tapi? Loe ditembak kan sama dia?" cerocos Sania dengan gaya agak centilnya. Kutanggapi hal itu dengan senyuman simpul tanpa arti.

"Loe salah paham. Gue nggak ditembak kok sama Doni. Gue juga udah janji sama loe, nggak mungkin lah gue ingkarin. Please, percaya gue," aku mencoba memberi keterangan.

"Bulsyit dengan semua omongan loe. Munafik. Pokoknya gue udah nggak akan pernah percaya sama loe. Loe emang busuk Sher. Loe bilang loe bakal jadi Mak comblang, tapi loe buat semua cowok itu suka sama loe kan? Munafik," kata Sania lagi. Kali ini kata-katanya membuatku marah juga. Semua yang dituduhkan itu bukan aku. Sania meninggalkan kelas, diikuti pula oleh Marsya. Tetes air mata mengalir begitu saja. Rumit, hingga kepalaku terasa berat. Aku melangkahkan kaki keluar kelas.

 

 "Aku merindumu Tuhan. Aku ingin mati. Aku nggak kuat hidup kayak gini."
aku setengah menjerit sambil duduk dibangku, tempat favoritku. Aku tertegun dan mencoba
menghibur diri, walau keputus asaan telah meracuniku.

"Tuhan, kenapa harus aku yang lemah ini? Tidak adakah cinta yang pantas untukku?" aku berkata pelan sembari menutup wajahku dengan tangan. Hingga sang mentari telah enggan bersinar, aku tetap duduk di bangku taman. Wajahku kian buram, bekas aliran air mata telah terjajar rapi dipipiku. Aku tetap tak bergeming sebelum handphoneku berdering. Kuliahat sejenak, dengan malas aku menekan tombol hijau itu.

“Hallo..” sapaku tanpa ekspresi khusus.

"Sher, kamu dimana sayang? Kenapa belum pulang?" cerocos Mama diseberang sana.

“Nanti juga pulang Ma,” aku terkesan malas menjawabnya.

'Kamu dengar itu Ma, anak kamu sendiri sampai nggak mau pulang. Kamu tidak pecus mengajarinya. Kamu didik dia menjadi orang yang nggak bener sepertimu' terdengar suara khas Papa. Ocehan dan keributan kembali terjadi. 'ohh jadi kamu kira aku dan Sherly itu bukan orang bener. Justu simpananmu itu wanita gila. Bodohnya kamu lebih membela dia daripada istri dan anakmu sendiri' tambah Mama yang terdengar nyaring di telpon. Mama selalu mengungkit wanita yang hadir diantara keluraga kita. Kumatikan handphonku dengan segera. Sisa Air mataku kembali berlinang dan pikiranku kembali menerawang. "mereka cuman mau aku mendengar obrolan kasar mereka," kataku lirih sembari tetap dirundung air mata.

Sang mega telah tertata, dengan gontai kulangkahkan kakiku melangkah pergi.

 

"Kamu itu gimana Sher, tugas ini masih belum dikerjakan. Kamu sudah tahu peraturan ibu bukan?" omelan yang menghantamku pagi ini. Bu Evy dengan semangat menghujatku dengan makiannya gara-gara buku tugasku masih kosong. Semalam aku memang menghabiskan waktu untuk tidur di pos satpam sekolah.

Aku hanya mengangguk dan melangkah keluar kelas dengan pasti.
Sementar
a 2 jam pelajaran itu berlalu dengan cepat. Aku kembali masuk ke dalam setelah bu Evy keluar.

"Loe kenapa sih Sher? Kumal banget. Sekarang malah nggak semangat banget," tanya Doni sesaat ketika aku duduk di bangkuku.

"Gue nggak apa-apa kok. Tenang aja. Emang sekarang gue lagi males-malesan aja," aku dengan cuel menanggapi Doni.

"Yaelah, sekarang tuh udah kebuka semua karakter loe Sher. Siapa sebenernya Sherly Monica Pratiwi? Semua udah tau. Cewek yang sok baik," Sania dengan keras bicara.

“Maksud loe apa San?” Doni menyambar perkataan Sania

"Halah loe itu Don, sekarang tuh udah bisa diketahui si Sherly itu gimana. Cuman baik didepan doang. Padahal di belakang nusuk. Dia bisa aja disukai banyak orang karena dia orang yang selalu bisa mengatasi masalah. Banyak yg curhat ke dia. Tapi gue yakin semua orang juga udah tau kejelekan dia sekarang. Dengan gue, sahabatnya sendiri aja dia udah nusuk, apalagi sama anak-anak lain," Sania panjang lebar memojokkanku dengan kata-kata yang dibuatnya sendiri.

"Ehh, emang loe pernah nganggep Sherly sahabat loe? Yang gue tau loe itu cuman manfaatin kebaikan dia. Tapi kalau dia udah buat salah sedikit aja, loe langsung ngejelekin dia. Nggak punya hati banget sih loe,” tambah Doni

"Udahlah. Loe berdua cuman ngebuat gue tambah pusing." aku memutuskan keluar kelas. Dan kembali lagi setelah jam istirahat telah selesai. 'Hari ini benar-benar menguras emosi’ batinku.

Keadaan rumah yg semakin kacau membuatku memutuskan untuk tidak pulang lagi. Yang aku tau, Mama pisah ranjang dengan Papa dan Papa juga sering pulang pagi.
Malam ini aku kembali menangis tersedu di bangku taman favoritku.
"tuhan, apa sudah benar-benar kau uji aku melebihi kemampuanku? Aku tidak akan kuat lagi tanpa orang tua y
ang bisa menyemangatiku. Aku menyayangi mereka. Ingin sekali aku merasakan belaian hangat Mama Papa sebelum aku tidur. Aku ingin melihat senyum mereka berdua karena justru itulah semangatku. Lantas buat apa aku hidup jika orang yang aku perjuangkan dan tujuanku mendedikasikan hidup sudah tidak menghargaiku? Aku lemah karena itu, Tuhan. Semuanya hancur. Aku merasa sendiri disaat seperti ini.'' rintihku malam ini. Tetesan air mata membanjiri dan semakin sesak yang kurasa hingga tak kusadari seseorang telah duduk disampingku

"Masih ada gue Sher. Loe nggak pernah sendiri. Apa gunanya gue sebagai sahabat loe sedangkan loe nggak mau berbagi sama gue," Doni telah merapatkan duduknya disebelahku.

"Semua orang sayang sama loe. Loe harus tahu itu. Loe mungkin nggak sadar, begitu juga mereka. Tapi sekali lagi loe harus inget, masih ada orang yang sayang banget sama loe,” kata Doni lagi.

“Loe ngapain disini?”

“Yang jelas gue disini pengen membuat loe sadar kalau loe nggak selamanya hanya jadi bahu buat semua teman-teman loe, tapi loe juga butuh bahu. Loe nggak bisa terlalu egois nyimpen semua masalah loe sendiri. Yang gue tahu loe selalu bilang ke semua teman-teman disini kalau saat mereka punya masalah meraka nggak boleh segan  buat cerita. Bahkan loe yang selalu berusaha mengungkit semua masalah mereka. Loe paksa mereka dengan halus buat cerita. Dan itu nggak sebanding dengan yang loe lakuin sekarang. Sher, gue mungkin nggak bisa seperti loe yang bisa meyakinkan orang lain buat mengurangi dukanya dengan cara cerita. Dan gue juga nggak tahu apa sebenarnya masalah yang sedang loe hadapin. Tapi gue bener-bener pengen selalu ada buat loe Sher,” kata Doni panjang lebar. Aku hanya menundukkan kepala saat dia berkata.

“Gue cumin pengen sendiri Don,” kataku singkat.

“Gue nggak mau ninggalin loe disini. Gue bakal tetep nemenin loe disini,” Doni bersikukuh.

“Loe tuh ngotot banget sih Don. Mending loe pulang! Nggak ada gunanya juga loe disini karena gue lagi pengen sendiri,” kataku lagi agak keras disela-sela tangisku.

“Gue nggak mau Sher, gue tuh pengen selalu ada buat loe. Ngehibur loe di saat loe kayak gini sekalipun loe nggak bakal nganggep gue, tapi gue bakal tetep ada disamping loe sampai loe nyadar kalau loe juga butuh temen. Cara kayak gini bukan cara yang baik ngatasin masalah,” perkataan Doni membuat nada bicaraku semakin tinggi. Ada emosi yang seakan terluap untuknya.

“Loe tuh nyadar nggak sih Don? Semakin loe deket sama gue semakin benci juga Sania sama anak-anak yang lain ke gue. Loe nggak nyadar kalau loe tuh sebenernya pembuat masalah ini, tahu nggak?” ditengah rentetan air mata masih kupaksakan melepas semua emosiku.

“Maksud loe apa? Kenapa harus sangkut paut ke Sania? Gue nggak tahu apa-apa Sher, suer,” ketulusan hati Doni tak bisa kupungkiri. Entah lenyap kemana segala emosi yang hendak kutumpahkan tadi. Sejenak aku diam tertunduk, dan Doni memandanag lekat wajahku sembari menyebut namaku lirih.

“Sania suka  sama loe. Sebelum ini dia nyuruh gue buat nyomblangin loe sama dia. Tapi setelah dia salah paham waktu loe bilang sayang ke gue, dia malah mojokin gue kayak gini. Loe yang ngebuat semuanya jadi kayak gini,” kali ini lirih perkataanku kepada Doni.

“Sher, loe denger gue! Sekalipun loe nyomblangin gue sama dia, gue nggak bakal pernah mau deket sama diaa. Lagi pula loe juga tahu kalau gue udah jijik aja lihat dia. Kalau emang itu alasan dia buat terus mojokin loe, oke, gue yang bakal ngomong langsung sama dia. Gue sayang sama loe Sher. Gue tahu, mungkin loe cuma nganggep gue teman, tapi sejujurnya gue cinta sama loe. Tenang aj kok, gue nggak maksa loe buat cinta juga sama gue. Tapi loe harus tahu, sekalipun dulu gue suka sama Sania, tapi mulai sekarang perasaan gue cuma buat seseorang. Jadi loe juga udah nggak perlu nyomblangin gue sama siapapun karena cinta yang gue punya cuma buat loe,” kata Doni sambil memegang daguku hingga memaksaku memandang sorot wajahnya. Ada desiran di hati ini, ada kedamaian saat Doni berkata seperti itu tadi. Tapi aku tak mampu berucap apapun. Hingga Doni berucap lagi.

“Udah yah Sher, loe nggak perlu nangis lagi. Masalah kayak gitu nggak seharusnya jadi beban berat di hidup loe. Menghadapi Sania tidak dengan cara kayak gini,” Doni mengusap air mataku.

“Pulang yuk! Udah malem, udaranya nggak enak,” Doni berdiri dan menarik tanganku namun aku tak beranjak. Dia pun kembali duduk.

“Kenapa nggak mau pulang?” tanyanya lembut sekali. Aku hanya menggeleng. Kemudian dia menyebut namaku seakan mancari alasan ketidakmauanku.

“Gue suntuk di rumah. Gue udah nggak punya rumah juga,” kataku singkat yang kemudian tidak ada respon cepat dari Doni. Hingga akhirnya aku menceritakan semua masalah Mama dan Papaku, keadaan keluargaku yang hancur. Aku menangis di dekapan Doni sembari menceritakan semuanya, menceritakan segala kerapuhan dan kelelahanku menghadapi ujian sperti ini.

“Gue bisa ngerasain gimana jadi loe, tapi masalah nggak harus ditangisin aja. Kita harus berpikir dewasa. Ingat, Tuhan nggak bakal ngasih ujian melebihi kemampuan hambanya. Pulang, dan selesaikan semuanya. Solusinya ada di tangan kamu Sher. Gue bakal bantu,” dengan kemantapan hati dan segala ketulusan hati Doni yang mampu kutatap dari sorot wajahnya. Tanpa ragu aku berdiri, menyambut uluran tangannya.

 

Kegaduhan Mama dan Papa tak berubah dan telah kudengar saat kulangkahkan kaki melewati pintu depan. Aku sempat berhenti, ada keraguan untuk melanjutkan masuk, tapi Doni meyakinkanku dengan menarik tanganku sehingga dia yang menuntunku masuk ke dalam. Mama dan Papa yang sedang saling mengumpat, berhenti seketika saat melihatku berdiri di dekat mereka.

“Kenapa berhenti Pa, Ma? Sudah puas untuk bertindak seperti ini terus?” air mataku berlinang.

“Sherly, kamu kemana aja nak? Akhirnya kamu pulang juga. Mama khawatir,” ucap Mama sembari menghampiriku dan siap memelukku. Namun aku mengelak.

“Apa Mama pernah peduli dengan aku? Apa Papa sama Mama pernah memikirkanku selain hanya berantem seperti ini? Aku capek Ma, telingaku udah sakit. Mama sama Papa nggak pernah ngerti gimana perasaanku. Iya kan? Lebih baik aku hidup sendiri daripada punya keluarga lenkap, semua fasilitas ada, tapi nggak pernah bahagia. Aku butuh ketentraman Ma, Pa. Aku butuh kasih sayang dari kalian. Bukan umpatan yang tiap hari harus kudengar,” ucapku mengeluarkan semua kekesalanku. Aku berlari masuk ke kamarku usai itu dan menangis di tempat tidurku.

Hingga hampir 15 menit kemudian, pintu kamarku terketuk dari luar. kudengar suara Mama memanggil dibalik pintu.

“Sherly, maafkan Mama sayang. Mama sadar, Mama sudah berdosa sama kamu. Maafkan Mama nak, Mama janji nggak akan mengulang menyakiti hatimu lagi,” suara Mama dari luar terdengar keras. Tapi aku masih enggan menanggapinya. Setelah itu terdengar suara Papa pula.

“Sherly, Papa juga minta maaf. Papa janji nggak akan mengumpat lagi. Papa sayang sama kamu juga sama Mama kamu. Papa sadar kalau Papa sebenarnya nggak bisa hidup tanpa kalian. Buka pintunya Sher, kita bicara diluar,” terdengar suara Papa mantap. Aku masih enggan beranjak mengikuti kata-kata Papa.

“Sher, ini gue Doni. Bukan suatu hal baik kalau loe nggak mau keluar dan nggak mau nyelesaikan masalah ini. Please yah, loe keluar!” setelah mendengar kata Doni, aku sadar kalau seharusnya aku keluar dan akupun beranjak. Kubuka pintu dan kudapati sosok Mama, Papa dan Doni berdiri tepat didepan pintu. Mengetahui aku keluar dari kamar, Mama dan Papa tersenyum. Akhirnya Mama dan Papa mengajakku turun menuju ruang keluarga. Disana Mama dan Papa mengutarakan maaf dan kutemui kesungguhan di  wajah mereka. Mereka juga mengungkapkan kesadaran mereka bermula dari perkataan Doni.

“Mama dan Papa sadar kalau kita sudah melakukan kesalahan besar karena secara nggak langsung kita sudah menelantarkan kamu. Papa sebenarnya juga nggak mau ada pertengkaran seperti kemarin-kemarin, tapi entahlah setan apa yang mempengaruhi Mama dan Papa hingga tiap hari harus rebut dengan masalah nggak jelas seperti itu. Teman kamu ini menyadarkan Papa kalau peran Papa di keluarga ini sangat penting. Papa punya mutiara-mutiara yang harus Papa jaga yaitu kamu dan Mamamu. Dan seharusnya Papa memang harus bangga sama kalian berdua,” kata Papa memulai pembicaraan. Aku melirik Doni yang terlihat cengar-cengir.

“Doni menceritakan semua pada Mama kalau kamu berubah drastis setelah mengalami masalah ini. Mama nggak mau Sher kalau kamu jadi anak berandalan, Mama akan sangat merasa berdosa. Sekarang Mama sadar, Mama ingin kamu berubah yah! Kembali ke Sherly yang dulu yang selalu membawa keceriaan dalm rumah ini. Janji sama Mama!” kata Mama dengan lembutnya. Aku hanya mengangguk dan menanggapinya dengan berbicara sekenanya dan  meminta agar Mama dan Papa berjanji pula untuk mendamaikan kondisi keluarga ini. Mama dan Papa mendekapku erat. Air mataku pun kembali menetes tapi kali ini dengan luapan kebahagiaan karena dekapan erat Mama dan Papa lah yang selama ini kurindukan.

 

“Thanks Don, gue nggak tahu gimana harus berterima kasih sama loe. Gue nggak tahu gimana cara loe nyadarin orang tua gue. Sekali lagi, terima kasih,” kataku pada Doni saat aku mengantarkan dia ke pagar depan rumah, dia hendak pulang.

“Nggak perlu bilang terima kasih, kan gue udah bilang kalau masalah loe juga masalah gue sekalipun loe nggak berpikir kayak gitu. Yang perlu loe jadiin introspeksi, loe bukan manusia super yang bisa menghadapi masalah loe sendiri. Jadi loe juga nggak perlu berlagak kuat. Wajar kalau kita butuh teman buat membantu menyelesaikan masalah kita walau sekedar bercerita,” kata Doni sembari menatapku erat. Setelah itu dia pamit pulang. Beberapa langkah dia hendak pergi, aku memanggilnya kembali.

“Doni,” dia memalingkan wajahnya dan berjalan kembali mendekatku yang masih berdiri di samping pagar. Aku mendekap Doni.

“Gue juga sayang sama loe. Gue sadar kalau loe berarti buat gue,” kataku sembari semakin mendekapnya erat.

“Udah, gue juga udah tahu kok. Loe bukan hanya sayang sama gue, tapi cinta juga kan?” katanya sembari cengar-cengir. Aku melepaskan pelukanku dan tersenyum malu padanya. Doni memegang erat bahuku.

“Sherly, denger sekali lagi. Janji sama gue, jangan pernah tertutup lagi, jangan pernah kayak kemarin lagi, gue paling nggak bisa lihat loe nangis. Gue kangen keceriaan Sherly yang dulu lagi. Janji yah sama gue! Apalagi kan sekarang kita udah sama-sama bilang cinta, jadi nggak ada kata tidak. Loe tahu nggak, gue adalah orang yang paling bahagia malam ini karena gue bisa lihat senyum seorang bidadari lagi apalagi bidadari itu sekrang jadi milik gue. Yes!” Doni seperti orang kesetanan, loncat-loncat nggak jelas dan tertawa lebar layaknya baru memenangkan pertandingan. Aku yang semula hanya tersenyum disetiap kali sela kata-kata Doni, kini juga ikut tertawa tapi dengan tersipu. Lengkap bahagia kali ini.

“Gue bakal umumin ke semua siswa di sekolah kalau gue udah berhasil mendapatkan sosok bidadari terutama pada Sherly. Gue bakal teriak lantang di hadapan dia kalu udah nggak ada harapan dia mendapatkan hati gue,” katanya lagi.”

“Ihh apa-apaan sih Don,” responku singkat namun terpancar kegembiraan yang sangat di wajahku. Doni berpamitan pulang. Dia mengecup keningku dengan hangat, lalu beranjak pergi.

 

Esok paginya di sekolah, Doni mengagetkanku dari belakang ketika aku sedang asyik berjalan menuju ke kelas. Kali ini layaknya aku telah kembali ke duniaku yang sebenarnya. Kulangkahkan kakiku dengan mantap dan penuh dengan sirat kebahagiaan.

            “Hallo Sherly sayang,” sapa Doni yang sekarang telah berjalan beriringan di sebelahku. Aku baru saja memukul bahunya karena kesal, tingkahnya yang selalu membuatku kaget.

            “Apa loe bilang? Sayang?” suara Sania menggelegar. Layaknya petir yang lebih tajam mengagetkanku. Sania berada di belakangku dan Doni yang sontak membuat aku dan Doni memalingkan wajah memandangnya.

            “Wahh.. untung loe disini. Loe tadi dengar yah? Kenapa emang? Masalah gitu buat loe?” Doni meladeni Sania yang sekarang berwajah lebih garang. Sementara aku hanya diam.

            “Maksud kalian apa? kenapa panggil sayang ke Sherly?”

            “Gue pikir loe nggak bodoh-bodoh amat yang kalau masalah cinta. Loe tahu kan panggilan Sayang itu berarti apa?” Doni tetap merasa beringas melihat Sania yang semakin berwajah muram.

            “Hah? Jadi loe?”

            “Iya, kita udah jadian. Kenapa? Loe cemburu? Sorry yah San, gue udah nggak minat sama loe. Sok kecakepan. Ngaca dong, nggak bisa semaunya loe aja perlakuin orang lain, termasuk cowok. Ohh iya, gue udah tahu kalau loe minta supaya Sherly nyomblangin gue sama loe kan? Terus loe marah-marah nggak jelas saat loe tahu kalau gue sempet mau ngungkapin perasaan gue ke Sherly. Loe cemburu saat loe tahu gue suka samaSherly, sampai akhirnya loe mencemarkan nama baik dia dengan segudang pernyataan palsu loe. Loe yang munafik, sadar dong loe!” Dengan kejamnya Doni menghujat Sania yang mulai menitikkan air mata. Entah apa arti air matanya.

            “Udah ah Don! San, sorry yah. Loe jangan tanggepin omongannya Doni,” aku yang kali ini angkat bicara karena tak tega melihat Sania.

            “Biarin lah Sher. Biar dia tahu diri juga lah. Ohh iya mumpung semua lagi pada ngumpul lihat pertunjukan seru ini,” kata Doni semabri mengelilingkan pandangan ke smua penjuru koridor. Entah ada magnet apa juga yang menarik semua penghuni sekolah yang ada disekitar tempatku berdiri, seketika berjajar rapi melihat adegan penghujatan Sania oleh Doni.

            “Kali ini gue mau umumin kalau Sherly adalah cewek gue. Dan semua yang diomongin Sania ke loe-loe semua kalau yang dia bilang Sherly itu munafik, itu semua salah besar. Dia aja yang cemburu dan ngerasa nggak terima cintanya ditolak mentah-mentah,” lanjut Doni. Sania yang mungkin tidak kuat mendengar hujatan Doni, berlari menjauh. Sorakan dari siswa-siswi yang melihat menjadi pengiring kepergian Sania. Ada rasa kasihan dan tak tega juga saat Doni dengan gampangnya mencemooh Sania.

            “Biar dia tahu rasa,” kalimat terakhir yang diucapkan Doni sebelum dia menarik tanganku melanjutkan langkah menuju ke kelas.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar