karya isengku
MASIH ADA DIA DI SAMPINGKU
Kubenamkan
tubuhku dalam bantal. Aku Paling tidak suka dengan
keadaan seperti ini. Kegaduhan
diluar semakin membuat
beban di kepalaku
kian membuncah. Kupaksakan mataku
terpejam dan akhirnya berhasil terlelap.
Esoknya pagi-pagi sekali aku
sudah melangkahkan kaki melewati koridor sekolah. Jam masih menunjukkan pukul
06.15, masih terlalu pagi untuk anak-anak sekolah.
"Sherly".
Suara dari kejauhan
mengagetkanku. Kucari siapa yang
memanggilku.
"Hai, tumben udah datang?" sapaku pada
Doni, seseorang yang
memanggilku tadi
yang sekarang telah ada
disampingku.
"Yaelah. Gue udah
bela-belain berangkat
sepagi ini cuman buat ini. Nih tugas kelompok
kita," kata Doni.
"Haduh, sorry yah. Jadi
loe yang ngerjain. Hehe
makasih," tanggapanku pada Doni.
"Udahlah. Nggak apa-apa
gue yang ngerjain juga. Oh iya
loe udah sarapan? Pasti belum kan? Ikut gue sarapan di kantin yuk! gue yang nraktir," kata
Doni lagi. Kali ini dengan menarik tanganku
secara langsung tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. Aku pun tak
bisa menolak.
Dikantin
kali ini masih sepi. Doni mengajakku duduk di bangku kantin dan memesan
sepiring mie instan untuk sarapan pagi ini.
"Tumben loe nraktir? Dapat rejeki nomplok?"
kataku disela-sela makan.
"Nggak lah. Cuman dapat rejeki sedikit aja tadi. Lagian
gue udah tahu kalau loe pasti belum makan. Iya kan? Gue kuatir loe pingsan lagi
kayak kemarin-kemarin," kata Doni sambil tetap makan.
"Nggak usah kuatirin
gue," jawabku singkat.
"Tunggu-tunggu, loe
semalem nangis yah? Mata agak bengkak gitu. Kenapa loe? Patah hati?" tanya
Doni sambil memperhatikanku sejenak.
"Apaan sih loe? Ya nggak
lah. Semalem juga nggak nangis, cuman kurang tidur," jawabku. Kali ini aku
terpaksa berbohong pada Doni,
padahal semalam suntuk
aku nangis dan nggak bisa tidur.
Read More...
"Pagi
Sherly," sapa Marsha yang
tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku.
"Gue nggak di sapa? Ada gue juga
kali," kata Doni pada Marsya.
"Ahh peduli amat sama
loe," kata Marsya dengan datar. Wajahnya
muram. Sementara aku hanya tersenyum melihat ekspresi Doni.
"Loe kenapa Sya? Wajah butek kayak gitu. Ada masalah? cerita aja lagi!"
tanyaku pada Marsya sambil sejenak menghentikan makanku. Sementara Marsya malah
menutup muka dengan kedua tangannya. Wajahnya tersirat luka, aku tahu itu dan
aku memaksanya untuk bercerita.
"Ayo dong cerita Sya! Masih ada
gue disini yang mau dengerin unek-unek loe" setelah aku mengatakan itu
dengan serius, Marsya pun tergerak untuk bercerita.
"Gue diputusin sama cowok gue Sher. Padahal gue masih sayang banget sama dia.
Tapi...." belum sempat melanjutkan perkataannya, Marsya sudah tak kuasa
menahan air matanya. Aku yang melihat itu, mencoba mendekapnya.
"Yaelah loe Sya, masalah loe
gitu-gitu mulu. Bosen gue,"
samber Doni. Aku memelototi Doni seketika, memberikan tanda bahwa perkataannya tadi sungguh tak tepat.
"Iya deh. Sorry. Emangnya kenapa loe kok sampai diputusin?" kata Doni lagi
tapi kali ini agak serius.
"Iya sih, salah gue emang. Dia tahu kalau gue masih berhubungan sama mantan
gue. Kemarin dia tahu kalau gue jalan sama mantan gue," kata Marsya
terbata-bata ditengah tangisnya yang makin menggema.
"Hmm.. itu sih salah loe Sya. Siapa suruh loe berhubungan sama mantan loe,"
cibir Doni.
"Tapi kan gue cuman temenan sama mantan gue. Nggak lebih lah," Marsya
tetep ngotot.
"Ya udah deh. Menurut gue mending gini aja. Loe bilang ke cowok loe itu yang
sebenernya kayak gimana. Penjelasan loe kan bisa jadi penyelesai masalah kan?
Kalau loe nggak bisa jelasin, gue juga bisa bantu," tawarku dan saranku
pada Marsya. Yang kemudian Marsya tampak tersenyum dan membenarkan saranku
tadi.
"Nggak usah Sher. Saran loe tadi udah cukup buat gue. Gue bisa lakuin
sendiri. Makasih yah buat sarannya. Gue beruntung banget dapat sahabat kayak
loe," kata Marsya lagi sembari memelukku.
"Gue nggak dipeluk juga?" kata Doni kemudian dengan cengengesan. Marsya hanya cemberut. Sementara bel berbunyi 5 menit lagi. Kami memastikan kembali ke kelas.Top of FormBottom of Form
Bel masuk telah berbunyi
sekitar semenit yang lalu. Seorang guru bernama bu Yesi memasuki kelas dengan gayanya yang seakan-akan masih
gadis.
"Selamat pagi
anak-anak," sapanya sembari duduk di kursinya. Belum sempat meneruskan
kembali berbicara, seorang siswi menampakkan mukanya di pintu dan mendekat ke
meja bu Yesi.
"Maaf bu.. Saya telat.
Tadi ban mobil saya kempes ditengah jalan. Jadi....." kata Sania, seorang
siswi yang baru datang itu.
Belum sempat Sania menjelaskan alasannya, bu Yesi sudah menyuruhnya duduk.
"Oke anak-anak. Beberapa
hari yang lalu, ibu memberikan
tugas ke kalian. Dan sekarang tugas itu silahkan dikumpulkan!" kata bu Yesi
lagi.
"Eh, Sher, mana tugas
kita," tanya Sania padaku. Tugas yang
tadi pagi dibawa Doni adalah tugas kelompok kita bertiga yaitu aku, Doni dan
Sania. Aku menyerahkan hasil tugas itu ke Sania. Dia yg membawanya ke bu Yesi.
Setelah tugas terkumpul, bu Yesi memeriksa dan membaca hasil tugas itu.
Beberapa lama kemudian, dia menginformasikan hasil tugas kelompok yang terbaik.
"Ibu sudah melihat tugas
kalian semua, dan ibu ucapkan selamat kepada kelompoknya Sania karena tugas
mereka adalah yang
terbaik. Dan kalian anak-anak, patutlah kalian mencontoh Sania. Dia adalah
siswi yang cantik, tidak sombong, dan pandai.
Selalu tepat dalam
mengerjakan tugas. Itu yang
harus kalian contoh. Berikan tepuk tangan untuk Sania!" kata bu Yesi
panjang lebar. Bu Yesi memang sangat membanggakan Sania. Dia selalu
mengungkit-ungkit keunggulan Sania terutama dalam hal kecantikan. Sania telah
menjadi juara kontes kecantikan sekolah dan menjadi Ratu Promnight tahun ini di
sekolah. Selain itu, Papanya adalah donator terbesar di sekolah. Semua siswa di
kelas bertepuk tangan kecuali Doni. Aku melihatnya malah tersenyum kecut
sembari memandang Sania.
Bel
berbunyi, istirahat tiba.
Aku
sudah berada di kantin bersama Doni dan teman-teman lain.
"Kenapa loe tadi malah nggak suka pas tugas kita
dapat reward terbaik?" tanyaku pada Doni di sela-sela makan.
"Yaelah. Loe tahu nggak, gue malah muak
banget liat tadi itu. Loe apa nggak nyadar Sher? Itu tugas kita yang
ngerjain. Dia ngapain coba? Gue nggak rela dia yang dibanggain," kata Doni dengan
kesalnya. Aku paham pemikiran Doni dan akupun sempat berpikiran seperti itu.
"Iya sih, tapi kan dia
juga yang cari bahan buat tugas wawancara itu kan? Udahlah, toh kita juga dapat
nilai dan nama baik," jawabku santai.
"Loe emang kayak gitu
Sher. Nggak pernah kesel sama
orang lain. Walaupun si Sania itu sahabat loe, tapi loe juga harus mikirin
gimana perasaan loe. Jangan ngalah mulu sama tuh anak," kata Doni lagi. Tiba-tiba Sania
dan Marsya datang menemuiku dan Doni.
"Hai Don, kok nggak ngajak-ngajak
sih tadi kalau mau kesini," kata Sania pada Doni yang tetap enak makan.
"Sorry, gue laper
tadi," kata Doni sedikit acuh.
"Eh Sher, loe bisa bantu
gue nggak?" kata Sania yg kali ini menatapku.
“Ya kalau gue bisa bantu,
pasti gue bantuin. Emang apa?"
"Entar deh gue kasih tau. Gue
berharap banget loe bisa bantu gue," kata Sania.
"Ehh Sher, gue balik
duluan yah. Mau ke toilet juga. Bye," Doni memutuskan untuk pergi. Aku
merasa aneh dengan sikapnya yang
setiap ada Sania, dia pasti akan mencoba menjauh. Padahal Doni sempat terang-terangan
mengatakan bahwa ia mencintai si Ratu Prom itu.
"Hmmm... Gue bilang
langsung aja ke loe. Jadi gini, loe bantuin gue buat deket dong sama si Doni.
Ya istilahnya comblangin gitu lah. Loe kan jago masalah gitu," kata Sania
yang seketika menghentakkan pikiranku. Seorang Sania yg dulu dengan
terang-terangan menolak Doni,
sekarang dia menginginkan kedekatan.
"Loe gila San. Dulu aja
mati-matian loe tolak dia. Sekarang loe malah minta dideketin," Marsya
kali ini angkat bicara.
"Iya sih. Gue baru nyadar
kalau Doni itu ganteng. Hehe. Yah walaupun seharusnya gue nggak perlu minta
bantuan buat ngedekatin sih. Tapi dia beda sikapnya ke gue," kata Sania.
"Terus cowok loe
gimana?" tanyaku kali ini.
"Gue kan udah putus
Sherly sayang. Gue tuh pusing tau nggak. Banyak orang komplek yang minta gue
supaya jadi menantunya lah, jadi pacarnya lah. Bingung gue"
"Idih, PD banget sih loe San. Kayak
loe itu makhluk tuhan paling cantik aja," kata Marsya menanggapi perkataan
Sania yang terkesan sombong.
"Yah, tapi kenyataannya
emang gitu. Semua orang nganggep gue cantik. Banyak kok yang bilang," kata
Sania tetap membanggakan diri. Satu
sifat Sania adalah terlalu membanggakan dirinya. Memang sih, Sania itu cewek
cantik saentro sekolah. Dia juga selalu dipuja oleh kaum pria.
"Udah-udah. Ya entar gue
bantuin loe lah San. Gampang masalah gitu aja. Udah yuk ke kelas, mau masuk
juga," aku mengakhiri pembicaraanku dan mengajak mereka kembali ke kelas.
Seharian
di sekolah membuatku senang. Setelah jam pulang berdentang, aku masih gundah
untuk melanjutkan langkahku ke rumah. Setelah itu kuputuskan untuk menghabiskan
waktu sejenak di tempat favoritku. Tak jauh dari sekolah ini, ada sebuah bangku
taman lengkap dengan tamannya yang
indah. Disana aku sering melipur laraku sendiri. Lebih tepatnya menyepi. Kadang
juga kuhabiskan waktuku untuk membaca ataupun yang lain selama hal itu dapat menyenangkan. Tepat pukul 17.30 aku
memutuskan untuk pulang. Kulangkahkan kaki dengan berat. Tiba di depan pintu
rumah, suara-suara itu menyergapku lagi. Seketika aku luluh dan perih. Aku
memantapkan hatiku untuk masuk ke dalam walaupun
aku sudah tahu pemandangan tak sedap itu.
"Tuh lihat anak kamu!
Siapa yg mengajari dia sampai dia nggak tahu waktu. Jam segini baru pulang. Itu
atas didikkanmu Ma," suara Papa menghentakkan langkahku seketika.
Kupandangi Mama dan Papa yg sedang berwajah emosi, berdiri dengan saling
menyalahkan. Pemandangan ini sudah bosan kulihat. Aku hanya bisa mematung dan
merasakan sakit.
"Enak saja kamu bilang
begitu. Itu juga anak kamu. Keturunan kamu. Dia mewarisi sifatmu yang jelek itu Pa. Nggak
seharusnya menyalahkan aku," kata Mama membantah Papa. Keributan terjadi
lagi. Aku melangkah pergi ke dalam kamar
dan di kamarlah aku menumpahkan segala amarahku.
Telingaku terasa sakit mendengar cekcok orang tuaku. Aku menyumpatnya dengan
bantal dan segera memejamkan mata.
Semalam ini kupaksakan
mataku terpejam namun tak berhasil. Air mataku kian berlinang mendengar cekcok Mama
Papa yang kian menjadi.
"Aku lelah harus seperti
ini Tuhan. Aku benci dengan mereka. Ambillah aku saja agar aku tak menghadapi
ini," tangisku semakin deras. Aku frustasi dengan
keadaan ini.
Jam menunjukkan pukul 02.00 pagi, aku baru berhasil
terlelap.
Esok
paginya, aku dengan tergesa-gesa
melangkah memasuki sekolah,
3 menit lagi jam masuk. Akupun sedikit berlari dan dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam
kelas. Keberuntungan menyapaku. Guru menoleransi keterlambatanku tanpa hukuman.
"PR kalian silahkan dikumpulkan!"
perintah bapak guru tiba-tiba,
sementara aku masih mengatur nafas yang
tadi tersengal. Perintah itu juga mengagetkanku. ‘bodoh. Gue belum
ngerjain’ kataku dalam hati. Aku
benar-benar menyalahkan diriku yg semalam hanya menangis. Akupun terpaksa menerima hukuman dari pak guru.
"Loe kenapa sih Sher?" tanya
Doni saat aku sedang duduk dibangku depan kelas. Doni menghampiriku dan duduk disebelahku. Jam istirahat
telah berlaku sejak 5 menit yang lalu. Setelah puas mendapat hukuman berdiri di
depan tiang bendera karena lalai mengerjakan tugas tadi, aku segera menuju ke
kelas dan duduk did depan kelas berharap dahag hilang dari tubuhku dan semua
energiku kembali.
“Gue nggak apa-apa kok,” jawabku singkat
"Halah, loe nggak usah
bohong lah sama gue. Loe semalem nangis lagi kan? Loe datang terlambat dengan
mata bengkak habis nangis, loe juga nggak ngerjain tugas. Bukan Sherly yang gue kenal dulu,"
kata Doni ingin tahu tentang keganjilanku hari ini.
"Ahh, loe aja lebay. Gue
nggak apa-apa. Semalem emang nangis gara-gara liat film, terus gara-gara film itu
juga gue lupa ngerjain PR dan bangun kesiangan. Udahlah nyantai aja,"
jawabku lagi dengan enteng. Aku terpaksa berbohong pada Doni.
"Ya untung lah kalau loe
nggak ada masalah. Gue kuatir banget kalau loe kenapa-kenapa," Doni
menunjukkan kepeduliannya sembari menatapku lekat.
"Loe tuh alay banget yah
Don. Udah gue bilang gue nggak apa-apa, eh sekarang malah mandang gue kayak
gitu. Kenapa sih? Biasa ajalah," kataku agak canggung.
"Eh Sher, sebenernya gue
pengen ngungkapin sesuatu sama loe," kata Doni lagi, kali ini dengan mimik
serius. Aku juga ikut gelagapan.
"Ngungkapin apa?"
aku ingin tahu.
"Mau ngomong apa?"
tanyaku pada Doni yang
sedari tadi lekat menatapku.
"Sebenernya gue pengen
banget bisa jadi temen deket loe," kata Doni mantap.
"Yaelah. Dari dulu gue
juga udah anggep loe temen deket gue kali. Udah ah tenang aja. Gue masuk dulu
yah. Bye," timpalku enteng pada Doni. Aku memutuskan untuk pergi walaupun aku tahu ada sarat kecewa di rautnya.
"Ohhh... Gue baru tau
yah. Ternyata loe itu penghianat. Dasar, pinter banget loe nyembunyiin rencana
busuk loe." Sania melabrakku tiba-tiba,
sesaat setelah jam pulang bergeming.
Kelas telah lengang, tinggal aku, Sania dan Marsya.
“Maksud loe apa San?” tanyaku kelimpungan. Perkataannya
yang secara tiba-tiba,
membuatku kaget. Hingga kuhentikan aktivitasku merapikan buku dan meladeni
Sania.
"Loe munafik Sher. Loe
cuman ngumbar-ngumbar janji doang. Sok baik, sok care ke semua orang. Maksud
loe apa? Loe bilang loe mau deketin gue sama si Doni. Tapi? Loe ditembak kan
sama dia?" cerocos Sania dengan gaya agak centilnya. Kutanggapi hal itu dengan senyuman simpul tanpa arti.
"Loe salah paham. Gue
nggak ditembak kok sama Doni. Gue juga udah janji sama loe, nggak mungkin lah
gue ingkarin. Please, percaya gue," aku mencoba memberi keterangan.
"Bulsyit dengan semua
omongan loe. Munafik.
Pokoknya gue udah nggak akan pernah percaya sama loe. Loe emang busuk Sher. Loe
bilang loe bakal jadi Mak comblang, tapi loe buat semua cowok itu suka sama loe
kan? Munafik," kata Sania lagi. Kali ini kata-katanya membuatku marah juga. Semua yang dituduhkan
itu bukan aku. Sania meninggalkan kelas, diikuti pula oleh Marsya. Tetes air
mata mengalir begitu saja. Rumit, hingga kepalaku terasa berat. Aku
melangkahkan kaki keluar kelas.
"Aku
merindumu Tuhan. Aku ingin mati. Aku nggak kuat hidup kayak gini."
aku setengah menjerit sambil duduk dibangku, tempat favoritku. Aku tertegun dan
mencoba menghibur diri, walau keputus asaan telah meracuniku.
"Tuhan, kenapa harus aku
yang lemah ini? Tidak
adakah cinta yang
pantas untukku?" aku berkata pelan sembari menutup wajahku dengan tangan. Hingga sang mentari
telah enggan bersinar, aku tetap duduk di bangku taman. Wajahku kian buram,
bekas aliran air mata telah terjajar rapi dipipiku. Aku tetap tak bergeming
sebelum handphoneku berdering. Kuliahat
sejenak, dengan malas aku menekan tombol hijau itu.
“Hallo..” sapaku tanpa ekspresi khusus.
"Sher,
kamu dimana sayang? Kenapa belum pulang?" cerocos Mama diseberang sana.
“Nanti juga pulang Ma,” aku terkesan malas menjawabnya.
'Kamu
dengar itu Ma, anak kamu sendiri sampai nggak mau pulang. Kamu tidak pecus
mengajarinya. Kamu didik dia menjadi orang yang
nggak bener sepertimu' terdengar suara
khas Papa. Ocehan dan keributan kembali terjadi. 'ohh
jadi kamu kira aku dan Sherly itu bukan orang bener. Justu simpananmu itu
wanita gila. Bodohnya kamu lebih membela dia daripada istri dan anakmu sendiri'
tambah Mama yang
terdengar nyaring di telpon. Mama
selalu mengungkit wanita yang hadir diantara keluraga kita. Kumatikan
handphonku dengan segera. Sisa Air
mataku kembali berlinang dan pikiranku kembali menerawang. "mereka cuman
mau aku mendengar obrolan kasar mereka," kataku lirih sembari tetap
dirundung air mata.
Sang
mega telah tertata, dengan gontai kulangkahkan kakiku melangkah pergi.
"Kamu itu gimana Sher,
tugas ini masih belum dikerjakan. Kamu sudah tahu peraturan ibu bukan?" omelan yang menghantamku pagi
ini. Bu Evy dengan semangat menghujatku
dengan makiannya gara-gara
buku tugasku masih kosong. Semalam aku
memang menghabiskan waktu untuk tidur di pos satpam sekolah.
Aku
hanya mengangguk dan melangkah keluar kelas dengan pasti.
Sementara 2 jam pelajaran itu
berlalu dengan cepat. Aku kembali
masuk ke dalam setelah bu Evy keluar.
"Loe kenapa sih Sher?
Kumal banget. Sekarang malah nggak semangat
banget," tanya Doni sesaat
ketika aku duduk di bangkuku.
"Gue nggak apa-apa kok. Tenang
aja. Emang sekarang gue lagi males-malesan aja," aku dengan cuel menanggapi Doni.
"Yaelah, sekarang tuh
udah kebuka semua karakter loe Sher. Siapa sebenernya Sherly Monica Pratiwi?
Semua udah tau. Cewek yang
sok baik," Sania dengan keras bicara.
“Maksud loe apa San?” Doni menyambar perkataan Sania
"Halah loe itu Don,
sekarang tuh udah bisa diketahui si Sherly itu gimana. Cuman baik didepan
doang. Padahal di belakang nusuk. Dia bisa aja disukai banyak orang karena dia
orang yang selalu bisa mengatasi
masalah. Banyak yg curhat ke dia. Tapi gue yakin semua orang juga udah tau
kejelekan dia sekarang. Dengan gue, sahabatnya sendiri aja dia udah nusuk,
apalagi sama anak-anak lain,"
Sania panjang lebar memojokkanku dengan kata-kata yang dibuatnya sendiri.
"Ehh, emang loe pernah
nganggep Sherly sahabat loe? Yang
gue tau loe itu cuman manfaatin kebaikan dia. Tapi kalau dia udah buat salah
sedikit aja, loe langsung ngejelekin
dia. Nggak punya hati banget sih loe,” tambah Doni
"Udahlah. Loe berdua
cuman ngebuat gue tambah pusing." aku memutuskan keluar kelas. Dan kembali
lagi setelah jam istirahat telah selesai. 'Hari ini benar-benar menguras emosi’ batinku.
Keadaan
rumah yg semakin kacau membuatku memutuskan untuk tidak pulang lagi. Yang aku tau, Mama pisah
ranjang dengan Papa dan Papa juga sering pulang pagi.
Malam ini aku kembali menangis tersedu di bangku taman favoritku.
"tuhan, apa sudah benar-benar kau uji aku melebihi kemampuanku? Aku tidak
akan kuat lagi tanpa orang tua yang
bisa menyemangatiku. Aku menyayangi mereka. Ingin sekali aku merasakan belaian
hangat Mama Papa sebelum aku tidur. Aku ingin melihat senyum mereka berdua
karena justru itulah semangatku. Lantas buat apa aku hidup jika orang yang aku perjuangkan dan
tujuanku mendedikasikan hidup sudah tidak menghargaiku? Aku lemah karena itu,
Tuhan. Semuanya hancur. Aku merasa sendiri disaat seperti ini.'' rintihku malam
ini. Tetesan air mata membanjiri dan semakin sesak yang kurasa hingga tak
kusadari seseorang telah duduk
disampingku
"Masih ada gue Sher. Loe
nggak pernah sendiri. Apa gunanya gue sebagai sahabat loe sedangkan loe nggak
mau berbagi sama gue," Doni telah merapatkan duduknya disebelahku.
"Semua orang sayang sama
loe. Loe harus tahu
itu. Loe mungkin nggak sadar, begitu juga mereka. Tapi sekali lagi loe harus inget, masih ada orang yang sayang banget
sama loe,” kata Doni lagi.
“Loe ngapain disini?”
“Yang jelas gue disini pengen membuat loe sadar kalau
loe nggak selamanya hanya jadi bahu buat semua teman-teman loe, tapi loe juga
butuh bahu. Loe nggak bisa terlalu egois nyimpen semua masalah loe sendiri.
Yang gue tahu loe selalu bilang ke semua teman-teman disini kalau saat mereka
punya masalah meraka nggak boleh segan
buat cerita. Bahkan loe yang selalu berusaha mengungkit semua masalah
mereka. Loe paksa mereka dengan halus buat cerita. Dan itu nggak sebanding
dengan yang loe lakuin sekarang. Sher, gue mungkin nggak bisa seperti loe yang
bisa meyakinkan orang lain buat mengurangi dukanya dengan cara cerita. Dan gue
juga nggak tahu apa sebenarnya masalah yang sedang loe hadapin. Tapi gue
bener-bener pengen selalu ada buat loe Sher,” kata Doni panjang lebar. Aku hanya
menundukkan kepala saat dia berkata.
“Gue cumin pengen sendiri Don,” kataku singkat.
“Gue nggak mau ninggalin loe disini. Gue bakal tetep
nemenin loe disini,” Doni bersikukuh.
“Loe tuh ngotot banget sih Don. Mending loe pulang!
Nggak ada gunanya juga loe disini karena gue lagi pengen sendiri,” kataku lagi
agak keras disela-sela tangisku.
“Gue nggak mau Sher, gue tuh pengen selalu ada buat
loe. Ngehibur loe di saat loe kayak gini sekalipun loe nggak bakal nganggep
gue, tapi gue bakal tetep ada disamping loe sampai loe nyadar kalau loe juga
butuh temen. Cara kayak gini bukan cara yang baik ngatasin masalah,” perkataan
Doni membuat nada bicaraku semakin tinggi. Ada emosi yang seakan terluap
untuknya.
“Loe tuh nyadar nggak sih Don? Semakin loe deket sama
gue semakin benci juga Sania sama anak-anak yang lain ke gue. Loe nggak nyadar
kalau loe tuh sebenernya pembuat masalah ini, tahu nggak?” ditengah rentetan
air mata masih kupaksakan melepas semua emosiku.
“Maksud loe apa? Kenapa harus sangkut paut ke Sania? Gue
nggak tahu apa-apa Sher, suer,” ketulusan hati Doni tak bisa kupungkiri. Entah
lenyap kemana segala emosi yang hendak kutumpahkan tadi. Sejenak aku diam
tertunduk, dan Doni memandanag lekat wajahku sembari menyebut namaku lirih.
“Sania suka
sama loe. Sebelum ini dia nyuruh gue buat nyomblangin loe sama dia. Tapi
setelah dia salah paham waktu loe bilang sayang ke gue, dia malah mojokin gue
kayak gini. Loe yang ngebuat semuanya jadi kayak gini,” kali ini lirih
perkataanku kepada Doni.
“Sher, loe denger gue! Sekalipun loe nyomblangin gue
sama dia, gue nggak bakal pernah mau deket sama diaa. Lagi pula loe juga tahu
kalau gue udah jijik aja lihat dia. Kalau emang itu alasan dia buat terus
mojokin loe, oke, gue yang bakal ngomong langsung sama dia. Gue sayang sama loe
Sher. Gue tahu, mungkin loe cuma nganggep gue teman, tapi sejujurnya gue cinta
sama loe. Tenang aj kok, gue nggak maksa loe buat cinta juga sama gue. Tapi loe
harus tahu, sekalipun dulu gue suka sama Sania, tapi mulai sekarang perasaan
gue cuma buat seseorang. Jadi loe juga udah nggak perlu nyomblangin gue sama
siapapun karena cinta yang gue punya cuma buat loe,” kata Doni sambil memegang
daguku hingga memaksaku memandang sorot wajahnya. Ada desiran di hati ini, ada
kedamaian saat Doni berkata seperti itu tadi. Tapi aku tak mampu berucap
apapun. Hingga Doni berucap lagi.
“Udah yah Sher, loe nggak perlu nangis lagi. Masalah
kayak gitu nggak seharusnya jadi beban berat di hidup loe. Menghadapi Sania
tidak dengan cara kayak gini,” Doni mengusap air mataku.
“Pulang yuk! Udah malem, udaranya nggak enak,” Doni
berdiri dan menarik tanganku namun aku tak beranjak. Dia pun kembali duduk.
“Kenapa nggak mau pulang?” tanyanya lembut sekali. Aku
hanya menggeleng. Kemudian dia menyebut namaku seakan mancari alasan
ketidakmauanku.
“Gue suntuk di rumah. Gue udah nggak punya rumah
juga,” kataku singkat yang kemudian tidak ada respon cepat dari Doni. Hingga
akhirnya aku menceritakan semua masalah Mama dan Papaku, keadaan keluargaku yang
hancur. Aku menangis di dekapan Doni sembari menceritakan semuanya,
menceritakan segala kerapuhan dan kelelahanku menghadapi ujian sperti ini.
“Gue bisa ngerasain gimana jadi loe, tapi masalah
nggak harus ditangisin aja. Kita harus berpikir dewasa. Ingat, Tuhan nggak
bakal ngasih ujian melebihi kemampuan hambanya. Pulang, dan selesaikan
semuanya. Solusinya ada di tangan kamu Sher. Gue bakal bantu,” dengan
kemantapan hati dan segala ketulusan hati Doni yang mampu kutatap dari sorot
wajahnya. Tanpa ragu aku berdiri, menyambut uluran tangannya.
Kegaduhan Mama dan Papa tak berubah dan telah kudengar
saat kulangkahkan kaki melewati pintu depan. Aku sempat berhenti, ada keraguan
untuk melanjutkan masuk, tapi Doni meyakinkanku dengan menarik tanganku
sehingga dia yang menuntunku masuk ke dalam. Mama dan Papa yang sedang saling
mengumpat, berhenti seketika saat melihatku berdiri di dekat mereka.
“Kenapa berhenti Pa, Ma? Sudah puas untuk bertindak
seperti ini terus?” air mataku berlinang.
“Sherly, kamu kemana aja nak? Akhirnya kamu pulang
juga. Mama khawatir,” ucap Mama sembari menghampiriku dan siap memelukku. Namun
aku mengelak.
“Apa Mama pernah peduli dengan aku? Apa Papa sama Mama
pernah memikirkanku selain hanya berantem seperti ini? Aku capek Ma, telingaku
udah sakit. Mama sama Papa nggak pernah ngerti gimana perasaanku. Iya kan?
Lebih baik aku hidup sendiri daripada punya keluarga lenkap, semua fasilitas
ada, tapi nggak pernah bahagia. Aku butuh ketentraman Ma, Pa. Aku butuh kasih
sayang dari kalian. Bukan umpatan yang tiap hari harus kudengar,” ucapku
mengeluarkan semua kekesalanku. Aku berlari masuk ke kamarku usai itu dan
menangis di tempat tidurku.
Hingga hampir 15 menit kemudian, pintu kamarku
terketuk dari luar. kudengar suara Mama memanggil dibalik pintu.
“Sherly, maafkan Mama sayang. Mama sadar, Mama sudah
berdosa sama kamu. Maafkan Mama nak, Mama janji nggak akan mengulang menyakiti
hatimu lagi,” suara Mama dari luar terdengar keras. Tapi aku masih enggan
menanggapinya. Setelah itu terdengar suara Papa pula.
“Sherly, Papa juga minta maaf. Papa janji nggak akan
mengumpat lagi. Papa sayang sama kamu juga sama Mama kamu. Papa sadar kalau Papa
sebenarnya nggak bisa hidup tanpa kalian. Buka pintunya Sher, kita bicara
diluar,” terdengar suara Papa mantap. Aku masih enggan beranjak mengikuti
kata-kata Papa.
“Sher, ini gue Doni. Bukan suatu hal baik kalau loe
nggak mau keluar dan nggak mau nyelesaikan masalah ini. Please yah, loe
keluar!” setelah mendengar kata Doni, aku sadar kalau seharusnya aku keluar dan
akupun beranjak. Kubuka pintu dan kudapati sosok Mama, Papa dan Doni berdiri
tepat didepan pintu. Mengetahui aku keluar dari kamar, Mama dan Papa tersenyum.
Akhirnya Mama dan Papa mengajakku turun menuju ruang keluarga. Disana Mama dan Papa
mengutarakan maaf dan kutemui kesungguhan di
wajah mereka. Mereka juga mengungkapkan kesadaran mereka bermula dari
perkataan Doni.
“Mama dan Papa sadar kalau kita sudah melakukan
kesalahan besar karena secara nggak langsung kita sudah menelantarkan kamu. Papa
sebenarnya juga nggak mau ada pertengkaran seperti kemarin-kemarin, tapi
entahlah setan apa yang mempengaruhi Mama dan Papa hingga tiap hari harus rebut
dengan masalah nggak jelas seperti itu. Teman kamu ini menyadarkan Papa kalau
peran Papa di keluarga ini sangat penting. Papa punya mutiara-mutiara yang
harus Papa jaga yaitu kamu dan Mamamu. Dan seharusnya Papa memang harus bangga sama
kalian berdua,” kata Papa memulai pembicaraan. Aku melirik Doni yang terlihat
cengar-cengir.
“Doni menceritakan semua pada Mama kalau kamu berubah
drastis setelah mengalami masalah ini. Mama nggak mau Sher kalau kamu jadi anak
berandalan, Mama akan sangat merasa berdosa. Sekarang Mama sadar, Mama ingin
kamu berubah yah! Kembali ke Sherly yang dulu yang selalu membawa keceriaan
dalm rumah ini. Janji sama Mama!” kata Mama dengan lembutnya. Aku hanya
mengangguk dan menanggapinya dengan berbicara sekenanya dan meminta agar Mama dan Papa berjanji pula
untuk mendamaikan kondisi keluarga ini. Mama dan Papa mendekapku erat. Air
mataku pun kembali menetes tapi kali ini dengan luapan kebahagiaan karena
dekapan erat Mama dan Papa lah yang selama ini kurindukan.
“Thanks Don, gue nggak tahu gimana harus berterima
kasih sama loe. Gue nggak tahu gimana cara loe nyadarin orang tua gue. Sekali
lagi, terima kasih,” kataku pada Doni saat aku mengantarkan dia ke pagar depan
rumah, dia hendak pulang.
“Nggak perlu bilang terima kasih, kan gue udah bilang
kalau masalah loe juga masalah gue sekalipun loe nggak berpikir kayak gitu.
Yang perlu loe jadiin introspeksi, loe bukan manusia super yang bisa menghadapi
masalah loe sendiri. Jadi loe juga nggak perlu berlagak kuat. Wajar kalau kita
butuh teman buat membantu menyelesaikan masalah kita walau sekedar bercerita,”
kata Doni sembari menatapku erat. Setelah itu dia pamit pulang. Beberapa
langkah dia hendak pergi, aku memanggilnya kembali.
“Doni,” dia memalingkan wajahnya dan berjalan kembali
mendekatku yang masih berdiri di samping pagar. Aku mendekap Doni.
“Gue juga sayang sama loe. Gue sadar kalau loe berarti
buat gue,” kataku sembari semakin mendekapnya erat.
“Udah, gue juga udah tahu kok. Loe bukan hanya sayang
sama gue, tapi cinta juga kan?” katanya sembari cengar-cengir. Aku melepaskan
pelukanku dan tersenyum malu padanya. Doni memegang erat bahuku.
“Sherly, denger sekali lagi. Janji sama gue, jangan
pernah tertutup lagi, jangan pernah kayak kemarin lagi, gue paling nggak bisa
lihat loe nangis. Gue kangen keceriaan Sherly yang dulu lagi. Janji yah sama gue!
Apalagi kan sekarang kita udah sama-sama bilang cinta, jadi nggak ada kata
tidak. Loe tahu nggak, gue adalah orang yang paling bahagia malam ini karena
gue bisa lihat senyum seorang bidadari lagi apalagi bidadari itu sekrang jadi
milik gue. Yes!” Doni seperti orang kesetanan, loncat-loncat nggak jelas dan
tertawa lebar layaknya baru memenangkan pertandingan. Aku yang semula hanya
tersenyum disetiap kali sela kata-kata Doni, kini juga ikut tertawa tapi dengan
tersipu. Lengkap bahagia kali ini.
“Gue bakal umumin ke semua siswa di sekolah kalau gue
udah berhasil mendapatkan sosok bidadari terutama pada Sherly. Gue bakal teriak
lantang di hadapan dia kalu udah nggak ada harapan dia mendapatkan hati gue,” katanya
lagi.”
“Ihh apa-apaan sih Don,” responku singkat namun
terpancar kegembiraan yang sangat di wajahku. Doni berpamitan pulang. Dia
mengecup keningku dengan hangat, lalu beranjak pergi.
Esok paginya di sekolah, Doni mengagetkanku dari
belakang ketika aku sedang asyik berjalan menuju ke kelas. Kali ini layaknya
aku telah kembali ke duniaku yang sebenarnya. Kulangkahkan kakiku dengan mantap
dan penuh dengan sirat kebahagiaan.
“Hallo
Sherly sayang,” sapa Doni yang sekarang telah berjalan beriringan di sebelahku.
Aku baru saja memukul bahunya karena kesal, tingkahnya yang selalu membuatku
kaget.
“Apa
loe bilang? Sayang?” suara Sania menggelegar. Layaknya petir yang lebih tajam
mengagetkanku. Sania berada di belakangku dan Doni yang sontak membuat aku dan
Doni memalingkan wajah memandangnya.
“Wahh..
untung loe disini. Loe tadi dengar yah? Kenapa emang? Masalah gitu buat loe?”
Doni meladeni Sania yang sekarang berwajah lebih garang. Sementara aku hanya
diam.
“Maksud
kalian apa? kenapa panggil sayang ke Sherly?”
“Gue
pikir loe nggak bodoh-bodoh amat yang kalau masalah cinta. Loe tahu kan
panggilan Sayang itu berarti apa?” Doni tetap merasa beringas melihat Sania
yang semakin berwajah muram.
“Hah?
Jadi loe?”
“Iya,
kita udah jadian. Kenapa? Loe cemburu? Sorry yah San, gue udah nggak minat sama
loe. Sok kecakepan. Ngaca dong, nggak bisa semaunya loe aja perlakuin orang
lain, termasuk cowok. Ohh iya, gue udah tahu kalau loe minta supaya Sherly
nyomblangin gue sama loe kan? Terus loe marah-marah nggak jelas saat loe tahu
kalau gue sempet mau ngungkapin perasaan gue ke Sherly. Loe cemburu saat loe
tahu gue suka samaSherly, sampai akhirnya loe mencemarkan nama baik dia dengan
segudang pernyataan palsu loe. Loe yang munafik, sadar dong loe!” Dengan kejamnya
Doni menghujat Sania yang mulai menitikkan air mata. Entah apa arti air
matanya.
“Udah
ah Don! San, sorry yah. Loe jangan tanggepin omongannya Doni,” aku yang kali
ini angkat bicara karena tak tega melihat Sania.
“Biarin
lah Sher. Biar dia tahu diri juga lah. Ohh iya mumpung semua lagi pada ngumpul
lihat pertunjukan seru ini,” kata Doni semabri mengelilingkan pandangan ke smua
penjuru koridor. Entah ada magnet apa juga yang menarik semua penghuni sekolah
yang ada disekitar tempatku berdiri, seketika berjajar rapi melihat adegan
penghujatan Sania oleh Doni.
“Kali
ini gue mau umumin kalau Sherly adalah cewek gue. Dan semua yang diomongin
Sania ke loe-loe semua kalau yang dia bilang Sherly itu munafik, itu semua
salah besar. Dia aja yang cemburu dan ngerasa nggak terima cintanya ditolak
mentah-mentah,” lanjut Doni. Sania yang mungkin tidak kuat mendengar hujatan
Doni, berlari menjauh. Sorakan dari siswa-siswi yang melihat menjadi pengiring
kepergian Sania. Ada rasa kasihan dan tak tega juga saat Doni dengan gampangnya
mencemooh Sania.
“Biar
dia tahu rasa,” kalimat terakhir yang diucapkan Doni sebelum dia menarik
tanganku melanjutkan langkah menuju ke kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar