Maaf
Mengiringimu Pergi
Pagi
ini aku melangkah santai menuju ke sekolah. Namaku Ratna, lebih tepatnya Ratna
Pratiwi. Aku duduk di bangku SMA kelas XII IPS. Aku adalah anak pendiam, bahkan
semua teman-teman disekolahku menyebutku dengan sebutan si bisu, dan seakan
semua teman menjauhiku dan tak mau berteman dengan orang pendiam seperti aku.
“Hai
Na,” sapa Adit, teman sekelasku. Kutanggapi sapaannya dengan senyuman dan
anggukan. Adit pun tidak heran dengan respon yang kutunjukkan. Dan anehnya,
Adit adalah satu-satunya teman sekolahku yang tetap mau menyapaku sekalipun dia
tahu responku terhadapnya. Dia juga masih tetap mengajak ngobrol aku disaat
tertentu.
“Na,
kan ada tugas ngerjain wawancara dan penelitian ke desa-desa pelosok. Kamu mau
ngerjain kapan?” tanya Adit disela-sela perjalanan menuju ke kelas. Aku dan
Adit berjalan beriringan. Adit mengingatkanku bahwa ada tugas berpasangan untuk
melakukan penelitian. Pertanyaan Adit tadi sontak membuatku bingung, aku tak
meminta untuk berpasangan dengan dia tapi dia seakan-akan yakin akan
berpasangan mengerjakan tugas denganku.
“Terserah,”
jawabku singkat. Dan kedengar helaan nafas Adit. Entah apa maksudnya.
“Oke,
gimana kalau nanti? Nanti aku ke rumahmu. Kita nyusun kerangka penelitiannya
dulu di rumahmu biar lebih gampang nantinya,” jelasnya panjang lebar.
“Terserah
kamu,” jawabku terhadap cerocosannya. Kupercepat langkahku menuju kelas dan
Adit tak lagi mengikutiku. Hanya teriakannya memanggil namaku yang kudengar.
Bel
pulang sekolah pun berdering. Kali ini sesuai rencana, Adit ikut denganku
pulang. Di sepanjang perjalanan tadi, tidak ada perbincangan yang seru antara
aku dan Adit. Tetap dengan gayanya yang supel, dia mengajakku ngobrol walau
sekedar tentang pelajaran sekolah hingga hal-hal yang tidak penting menyangkut
pribadi. Dan sesampainya di rumah, tanpa kupersilahkan secara langsung, dia
tidak enggan untuk masuk ke dalam. Mungkin karena dia tahu tak akan ada respon
dariku.
“Assalamualaikum,”
salamnya sembari masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam,
sudah pulang nak?” sapa ibu terhadapku. Ibu menunjukkan keheranannya melihat
Adit.
“Saya
Adit bu, temannya Ratna. Kesini cuman mau ngerjain tugas dengan Ratna,” ucapnya
ramah sembari tersenyum. Manis sekali. Aku segera masuk ke kamar tanpa
menghiraukan perbincangan ibu dengan Adit selanjutnya. Dan yang kutahu, ibu
hanya mempersilahkan Adit duduk di kursi ruang tamu yang sudah sangat lusuh dan
segera pergi ke dapur. Beberapa menit berlalu ibu kembali dengan segelas teh di
nampannya. Aku yang telah berada disitu tak merespon lebih. Sedangkan Adit
kembali berkutat dengan ocehannya menanggapi sodoran teh oleh ibu. Setelah itu
aku dan Adit melanjutkan agenda kita yang pertama yaitu menyusun kerangka
penelitian nanti. Alhasil belum sampai satu jam sebuah kerangka penelitian telah
tersusun dengan apik. Entahlah, tidak ada sedikit pun kesusahan untuk
menyelaraskan pikiranku dengan pikiran Adit. Apa yang digagaskan selalu
diterima oleh otakku. Karena masih ada waktu yang sangat panjang untuk
melanjutkan tahap pengerjaan tugas selanjutnya, maka Adit mengajak untuk
langsung mendatangi tempat yang akan diteliti kondisinya. Hingga akhirnya Adit
meminta ijin kepada ibu untuk mengajakku mengerjakan tugas.
“Hati-hati
ya nak. Cepat pulang, jangan sampai kemalaman,” pesan ibu saat aku hendak
pergi. Adit mencium tangan ibuku sebelum berlalu di balik pintu. Sementara aku
telah mendahuluinya. Kulihat rona kecewa di wajah ibu saat sejenak kumenengok.
Dan Adit juga berlalu dengan wajah penuh tanya.
“Kenapa
nggak pamit ke ibumu? Kenapa langsung pergi?” kudengar pertanyaan Adit saat dia
telah berjalan disampingku. Kualihkan pandangan seketika kepadanya hingga
terjadi saling pandang. Namun pandanganku terkesan lebih tajam hingga Adit
terlebih dahulu memalingkan pandangan. Perjalanan berlanjut tanpa sepatah
katapun yang menyangkut tentang ibuku tadi.
Mentari
telah sempurna kembali ke peraduannya. Setapak demi setapak kulangkahkan kaki
beriringan bersama Adit. Hari telah gelap bahkan jam telah menunjukkan pukul 8
malam. Tak diduga, survey lokasi demi tugas sekolah ini sungguh menyita waktu.
Namun ada sedikit kepuasan tentang bayangan hasil yang akan kita capai.
“Astagfirullah
Ratna,, kamu darimana aja nak? Ini sudah malam, tadi kan ibu sudah bilang kalau
jangan sampai pulang malam,” suara ibu menyambutku tepat saat kupijakkan kaki
di teras rumah. Dengan kesal tak kuhiraukan perkataan ibu itu.
“Maafkan
saya bu, saya yang sudah mengajak Ratna sampai semalam ini. Padahal saya tadi
sudah berjanji tidak akan pulang malam. Tadi saya mengajak dia makan dulu,”
dengan merasa bersalah, Adit mengatakan maaf kepada ibu. Langkahku terhenti
ketika mendengar penyesalan Adit kepada ibu. Aku yang tadi telah berjalan
beberapa langkah masuk ke dalam rumah dengan niat agar tak mendengar ocehan ibu
terlalu lama, tapi terhenyak begitu saja. Aku menengok ke tempat Adit dan Ibu
berdiri yang hanya berjarak beberapa langkah saja.
“Anda
tahu apa sih tentang aku? Apa peduli anda, hah? Mau aku pulang jam berapapun
juga nggak akan berpengaruh pada anda,” ucapku dengan nada amarah sembari
menatap lekat ibu. Adit sontak menatapku.
“Ratna,
Apa maksudmu berkata kalau ibu nggak pernah peduli denganmu, nak? Kamu anak ibu
dan pasti ibu akan khawatir kalau kamu pulang larut malam,” tanggapan ibu
dengan nada yang berangsur pelan. Sementara aku acuh tak acuh, hendak
kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Tapi terhenti lagi setelah ibu mulai bicara
lagi.
“Ratna,
ibu sayang sama kamu nak. Kenapa kamu masih bersikap seperti ini kepada ibu?
Mengapa kamu masih saja acuh kepada ibumu sendiri,” nada bicara ibu kian
memelas.
“Anda tahu, masih teramat susah untuk
menghapus cerita kelam itu. Aku nggak tahu kenapa ayah dengan begitu mudahnya
mampu memaafkan semua. Apa ayah bodoh atau dia terlampau baik, aku yakin anda
tahu jawabannya. Anda tak pernah tahu susahnya, anda hanya pergi saat susah dan
kembali begitu saja yang justru menambah susah. Haruskah diungkit lagi
cerita-cerita itu? Yang pasti aku belum bisa menerima kenyataan bahwa anda itu
ibuku. Yang aku tahu, aku hanya punya ayah, yang kemudian anda buat dia pergi.
Apa kurang semua yang anda lakukan terhadapku dan ayah?” kali ini dengan
menangis aku berkata pada ibu. Kuungkap semua duka yang membuat semua sikapku
berubah. Tak dapat kutahan lebih lama lagi aliran air mata hingga akhirnya
kupastikan berlari keluar. Malam itu menjadi malam yang tak menentu bagiku.
Tanpa arah aku terus berlari tanpa peduli dengan udara dingin yang kian
menyekatku.
“Ayah.
Ayah, aku rindu kamu ayah. Kenapa kamu nggak pernah bangun untukku. Ayah, aku
sendirian, aku butuh kamu,” rintihku tepat di atas pusara ayah. Entah mengapa
langkah mengantarkanku menuju makam ayah. Terus saja aku mengadu pada batu
nisan yang terukir nama ayahku. Berharap dia akan memelukku saat seperti ini.
Selang beberapa lama setelah air mataku telah kering untuk mengalir, kudengar
derap langkah menghampiriku.
“Aku
tahu kok gimana perasaanmu. Ternyata benar dugaanku, kamu itu penuh dengan
misteri,” suara khas Adit yang sontak memaksaku melihatnya. Dia kemudian duduk
tanpa ada komando. Dia mengatakan semua yang diketahuinya dari Ibu. Tentang
semua kejadian masa lalu yang sangat kelam bagiku. Dahulu aku hanya hidup
dengan seorang Ayah, ibu meninggalkanku dan ayah karena tidak kuat hidup dalam
belenggu kemiskinan. Secara terang-terangan ibu memilih hidup dengan seorang
lelaki tua yang lagaknya seperti pengusaha. Dan saat itulah aku berjanji pada
diriku sendiri takkan pernah memaafkan sosok ibu. Terlalu sakit pada saat itu
dan menimbulkan suatu kebencian yang teramat. Hingga akhirnya kutemukan
kebahagiaanku walau hanya hidup dengan seorang ayah. Tak pernah ada keinginan
untuk memiliki seorang ibu, karena ayahku mampu menjadi orang tua yang sempurna
untukku. Namun, entah mengapa tiba-tiba ibu kembali pada duniaku dan ayah.
Entah karena terlalu bodoh atau karena ketulusan jiwanya, ayah dengan mudah
mempersilahkan ibu masuk ke dunia kita lagi sekalipun ibu telah menggendong
seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan lelaki itu. Belum lama ibu
kembali ke rumah, sosok ayah harus pergi meninggalkanku selamanya dan hal
tersebut memaksaku untuk tetap tinggal dengan ibu dan adik tiriku. Karena
terlalu benci hati ini pada ibu, aku belum bisa memanggilnya apalagi menganggapnya
sebagai orang yang telah melahirkanku dan itulah penyebab segala kediamanku.
Selalu malas lisan ini untuk bercakap-cakap.
“Bukannya
aku mau ikut campur urusanmu dan bukan juga aku membela ibumu. Setiap orang
punya masa kelam, dan saat dia kembali dengan dirinya yang baru, seharusnya
bukan masa lalu lah yang diungkit, tapi besar niat untuk berubah di kehidupan
masa depan lah yang harus dinilai,” ceramah Adit.
“Sempat
dengar kan? Tentang kalimat yang mengatakan bahwa orang yang mulia adalah orang
yang mau memaafkan orang lain yang jelas-jelas pernah menyakitinya. Dan aku
juga sempat dengar bahwa kebanyakan anak perempuan itu mewarisi sifat ayahnya.
Jika ayahmu dengan mulianya, dengan ikhlas menerima ibumu kembali tanpa
mengusik masa lalunya. Ibumu juga menunjukkan bahwa dia teramat menyesal
melakukan semua tindakannya dulu . Seorang Ratna yang kuyakini dia adalah orang
berhati mulia dibalik semua kediamannya,” aku tetap mendengar semua ucapan Adit
dengan menunduk dan menangis di pusara Ayah.
“Maafkan
ibu nak. Ibu tahu ibu berdosa besar telah meninggalkanmu seperti dulu,” kata
ibu. Dia telah berdiri di belakangku. Malam ini penuh air mata di pusara ayah.
Aku yakin ayah juga merasa bagaimana peliknya masalah yang sedang kuhadapi.
Berhadapan dengan perasaan yang masih belum bisa kupaksakan. Mengetahui ada ibu
disitu, aku ingin beranjak pergi.
“Kalian
hanya membuatku semakin sakit,” dengan agar berteriak hingga akhirnya aku
berlari meninggalkan sosok ibu yang masih berlumuran air mata. Tak berapa lama
dan tak kusangka, ibu mengejarku. Dengan memanggil-manggil namaku ia terus
berlari menyusulku. Aku pun menambah kecepatan berlariku hingga telah berada
pada tepi jalan. Langkahku terhenti seketika setelah kudengar bunyi tabrakan di
jalan yang telah kulewati. Aku tertegun beberapa saat, Adit memanggil namaku
yang kini berdiri mematung melihat raga yang tergeletak di depan roda truk
tersebut. Itu ibu. Yah, ibu yang tadi mengejarku kini tergeletak berlumuran
darah. Aku hanya bisa melihat segala yang dilakukan oleh orang-orang terhadap
ibu mulai dari diangkatnya kedalam truk hingga truk tersebut hilang melaju.
Tetesan air mata menyerangku saat Adit menghampiriku. Dia kemudian mengajakku
kerumah sakit tempat ibu dibawa oleh truk tadi.
Seorang
dokter saat dia keluar dari dalam ruang ICU tempat ibu mendapatkan perawatan.
Dan mengatakan bahwa ibu ingin berbicara denganku. Dengan lebam dan balutan
perban di kepalanya, ibu tersenyum melihat kedatanganku. Aku duduk di
sebelahnya.
“Ratna,
kali ini adalah pemohonan maaf ibu yang terakhir kalinya. Ibu tidak tahu harus
bagaimana lagi meminta maaf kepadamu nak. Ibu tahu kesalahan ibu terlampau
berat hingga kamu belum pernah memaafkan ibu. Tapi sungguh, ibu meminta maaf
dari hati ibu. Ibu mohon nak, maafkan ibu! Ibu tidak akan pernah tenang sebelum
mendapatkan maaf darimu,” ucap ibu yang membuat air mataku mengalir pelan. Tangan
lembut ibu mengusap air mataku. Lembut sekali. Dan entah mengapa tergerak
tanganku untuk mengambil tangan ibu yang membelai pipiku dan menciumnya.
“Maafkan
aku juga ibu, aku sudah membuat seperti ini,” ucapku disela-sela tangisku. Ibu
tersenyum sangat indah, tak pernah kulihat senyum ibu seperti ini sebelumnya.
Tampak jelas kebahagiaan pada wajah ayunya.
“terima
kasih nak. Ibu adalah orang yang paling bahagia saat ini. Kamu tahu, satu
impian ibu adalah mendengar kamu memanggil ibu dengan sebutan ibu. Dan kali ini
ibu mendengarnya. Ibu sudah damai mendengarnya nak. Ibu menyayangimu, sungguh.
Tapi ibu belum bisa mengganti semua perlakuan ibu dulu dengan merawatmu hingga
nanti. Maafkan ibu yang selalu merepotkanmu,” air mata mengalir deras di pipi
ibu, begitu pula denganku. Aku hanya mengangguk menanggapi perkataan ibu.
Setelah itu, aku hanya mendapati ibu menutup mata. Aku diam. Sedangkan dokter
yang sedari tadi ternyata menyaksikan perbincanganku dengan ibu, segera
bertindak mengetahui ibu yang telah tak sadar. Tak berapa lama kain putih
menutup sempurna sekujur tubuh ibu. Aku masih linglung dengan kejadian ini.
Sementara Nisa, adik tiriku yang mungkin sudah memahami bahwa ia akan
kehilangan seorang ibu, ia menangis sejadi-jadinya di samping jasad ibu.
Guguran
bunga kamboja mengiringi perjalanan ibu bertemu ayah pagi ini. Aku dan Nisa
duduk disamping pusaranya ketika gundukan tanah itu telah rapi terbangun. Semua
orang yang berada disana tadi, sedikit demi sedikit beranjak pergi. Hanya
tinggal aku, Nisa dan Adit yang masih mematung.
“Kakak,
Ayo kita pulang. Ibu sudah bahagia disana,” ucap Nisa lirih. Segera kuturuti
langkahnya menjauh dari dua pusara yang telah damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar