Sabtu, 29 Desember 2012

satu lagi


Maaf Mengiringimu Pergi
Pagi ini aku melangkah santai menuju ke sekolah. Namaku Ratna, lebih tepatnya Ratna Pratiwi. Aku duduk di bangku SMA kelas XII IPS. Aku adalah anak pendiam, bahkan semua teman-teman disekolahku menyebutku dengan sebutan si bisu, dan seakan semua teman menjauhiku dan tak mau berteman dengan orang pendiam seperti aku.
            “Hai Na,” sapa Adit, teman sekelasku. Kutanggapi sapaannya dengan senyuman dan anggukan. Adit pun tidak heran dengan respon yang kutunjukkan. Dan anehnya, Adit adalah satu-satunya teman sekolahku yang tetap mau menyapaku sekalipun dia tahu responku terhadapnya. Dia juga masih tetap mengajak ngobrol aku disaat tertentu.
“Na, kan ada tugas ngerjain wawancara dan penelitian ke desa-desa pelosok. Kamu mau ngerjain kapan?” tanya Adit disela-sela perjalanan menuju ke kelas. Aku dan Adit berjalan beriringan. Adit mengingatkanku bahwa ada tugas berpasangan untuk melakukan penelitian. Pertanyaan Adit tadi sontak membuatku bingung, aku tak meminta untuk berpasangan dengan dia tapi dia seakan-akan yakin akan berpasangan mengerjakan tugas denganku.
“Terserah,” jawabku singkat. Dan kedengar helaan nafas Adit. Entah apa maksudnya.
“Oke, gimana kalau nanti? Nanti aku ke rumahmu. Kita nyusun kerangka penelitiannya dulu di rumahmu biar lebih gampang nantinya,” jelasnya panjang lebar.
“Terserah kamu,” jawabku terhadap cerocosannya. Kupercepat langkahku menuju kelas dan Adit tak lagi mengikutiku. Hanya teriakannya memanggil namaku yang kudengar.
Baca Selengkapnya

Bel pulang sekolah pun berdering. Kali ini sesuai rencana, Adit ikut denganku pulang. Di sepanjang perjalanan tadi, tidak ada perbincangan yang seru antara aku dan Adit. Tetap dengan gayanya yang supel, dia mengajakku ngobrol walau sekedar tentang pelajaran sekolah hingga hal-hal yang tidak penting menyangkut pribadi. Dan sesampainya di rumah, tanpa kupersilahkan secara langsung, dia tidak enggan untuk masuk ke dalam. Mungkin karena dia tahu tak akan ada respon dariku.
“Assalamualaikum,” salamnya sembari masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam, sudah pulang nak?” sapa ibu terhadapku. Ibu menunjukkan keheranannya melihat Adit.
“Saya Adit bu, temannya Ratna. Kesini cuman mau ngerjain tugas dengan Ratna,” ucapnya ramah sembari tersenyum. Manis sekali. Aku segera masuk ke kamar tanpa menghiraukan perbincangan ibu dengan Adit selanjutnya. Dan yang kutahu, ibu hanya mempersilahkan Adit duduk di kursi ruang tamu yang sudah sangat lusuh dan segera pergi ke dapur. Beberapa menit berlalu ibu kembali dengan segelas teh di nampannya. Aku yang telah berada disitu tak merespon lebih. Sedangkan Adit kembali berkutat dengan ocehannya menanggapi sodoran teh oleh ibu. Setelah itu aku dan Adit melanjutkan agenda kita yang pertama yaitu menyusun kerangka penelitian nanti. Alhasil belum sampai satu jam sebuah kerangka penelitian telah tersusun dengan apik. Entahlah, tidak ada sedikit pun kesusahan untuk menyelaraskan pikiranku dengan pikiran Adit. Apa yang digagaskan selalu diterima oleh otakku. Karena masih ada waktu yang sangat panjang untuk melanjutkan tahap pengerjaan tugas selanjutnya, maka Adit mengajak untuk langsung mendatangi tempat yang akan diteliti kondisinya. Hingga akhirnya Adit meminta ijin kepada ibu untuk mengajakku mengerjakan tugas.
“Hati-hati ya nak. Cepat pulang, jangan sampai kemalaman,” pesan ibu saat aku hendak pergi. Adit mencium tangan ibuku sebelum berlalu di balik pintu. Sementara aku telah mendahuluinya. Kulihat rona kecewa di wajah ibu saat sejenak kumenengok. Dan Adit juga berlalu dengan wajah penuh tanya.
“Kenapa nggak pamit ke ibumu? Kenapa langsung pergi?” kudengar pertanyaan Adit saat dia telah berjalan disampingku. Kualihkan pandangan seketika kepadanya hingga terjadi saling pandang. Namun pandanganku terkesan lebih tajam hingga Adit terlebih dahulu memalingkan pandangan. Perjalanan berlanjut tanpa sepatah katapun yang menyangkut tentang ibuku tadi.
Mentari telah sempurna kembali ke peraduannya. Setapak demi setapak kulangkahkan kaki beriringan bersama Adit. Hari telah gelap bahkan jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Tak diduga, survey lokasi demi tugas sekolah ini sungguh menyita waktu. Namun ada sedikit kepuasan tentang bayangan hasil yang akan kita capai.
“Astagfirullah Ratna,, kamu darimana aja nak? Ini sudah malam, tadi kan ibu sudah bilang kalau jangan sampai pulang malam,” suara ibu menyambutku tepat saat kupijakkan kaki di teras rumah. Dengan kesal tak kuhiraukan perkataan ibu itu.
“Maafkan saya bu, saya yang sudah mengajak Ratna sampai semalam ini. Padahal saya tadi sudah berjanji tidak akan pulang malam. Tadi saya mengajak dia makan dulu,” dengan merasa bersalah, Adit mengatakan maaf kepada ibu. Langkahku terhenti ketika mendengar penyesalan Adit kepada ibu. Aku yang tadi telah berjalan beberapa langkah masuk ke dalam rumah dengan niat agar tak mendengar ocehan ibu terlalu lama, tapi terhenyak begitu saja. Aku menengok ke tempat Adit dan Ibu berdiri yang hanya berjarak beberapa langkah saja.
“Anda tahu apa sih tentang aku? Apa peduli anda, hah? Mau aku pulang jam berapapun juga nggak akan berpengaruh pada anda,” ucapku dengan nada amarah sembari menatap lekat ibu. Adit sontak menatapku.
“Ratna, Apa maksudmu berkata kalau ibu nggak pernah peduli denganmu, nak? Kamu anak ibu dan pasti ibu akan khawatir kalau kamu pulang larut malam,” tanggapan ibu dengan nada yang berangsur pelan. Sementara aku acuh tak acuh, hendak kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Tapi terhenti lagi setelah ibu mulai bicara lagi.
“Ratna, ibu sayang sama kamu nak. Kenapa kamu masih bersikap seperti ini kepada ibu? Mengapa kamu masih saja acuh kepada ibumu sendiri,” nada bicara ibu kian memelas.
 “Anda tahu, masih teramat susah untuk menghapus cerita kelam itu. Aku nggak tahu kenapa ayah dengan begitu mudahnya mampu memaafkan semua. Apa ayah bodoh atau dia terlampau baik, aku yakin anda tahu jawabannya. Anda tak pernah tahu susahnya, anda hanya pergi saat susah dan kembali begitu saja yang justru menambah susah. Haruskah diungkit lagi cerita-cerita itu? Yang pasti aku belum bisa menerima kenyataan bahwa anda itu ibuku. Yang aku tahu, aku hanya punya ayah, yang kemudian anda buat dia pergi. Apa kurang semua yang anda lakukan terhadapku dan ayah?” kali ini dengan menangis aku berkata pada ibu. Kuungkap semua duka yang membuat semua sikapku berubah. Tak dapat kutahan lebih lama lagi aliran air mata hingga akhirnya kupastikan berlari keluar. Malam itu menjadi malam yang tak menentu bagiku. Tanpa arah aku terus berlari tanpa peduli dengan udara dingin yang kian menyekatku.

“Ayah. Ayah, aku rindu kamu ayah. Kenapa kamu nggak pernah bangun untukku. Ayah, aku sendirian, aku butuh kamu,” rintihku tepat di atas pusara ayah. Entah mengapa langkah mengantarkanku menuju makam ayah. Terus saja aku mengadu pada batu nisan yang terukir nama ayahku. Berharap dia akan memelukku saat seperti ini. Selang beberapa lama setelah air mataku telah kering untuk mengalir, kudengar derap langkah menghampiriku.
“Aku tahu kok gimana perasaanmu. Ternyata benar dugaanku, kamu itu penuh dengan misteri,” suara khas Adit yang sontak memaksaku melihatnya. Dia kemudian duduk tanpa ada komando. Dia mengatakan semua yang diketahuinya dari Ibu. Tentang semua kejadian masa lalu yang sangat kelam bagiku. Dahulu aku hanya hidup dengan seorang Ayah, ibu meninggalkanku dan ayah karena tidak kuat hidup dalam belenggu kemiskinan. Secara terang-terangan ibu memilih hidup dengan seorang lelaki tua yang lagaknya seperti pengusaha. Dan saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri takkan pernah memaafkan sosok ibu. Terlalu sakit pada saat itu dan menimbulkan suatu kebencian yang teramat. Hingga akhirnya kutemukan kebahagiaanku walau hanya hidup dengan seorang ayah. Tak pernah ada keinginan untuk memiliki seorang ibu, karena ayahku mampu menjadi orang tua yang sempurna untukku. Namun, entah mengapa tiba-tiba ibu kembali pada duniaku dan ayah. Entah karena terlalu bodoh atau karena ketulusan jiwanya, ayah dengan mudah mempersilahkan ibu masuk ke dunia kita lagi sekalipun ibu telah menggendong seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan lelaki itu. Belum lama ibu kembali ke rumah, sosok ayah harus pergi meninggalkanku selamanya dan hal tersebut memaksaku untuk tetap tinggal dengan ibu dan adik tiriku. Karena terlalu benci hati ini pada ibu, aku belum bisa memanggilnya apalagi menganggapnya sebagai orang yang telah melahirkanku dan itulah penyebab segala kediamanku. Selalu malas lisan ini untuk bercakap-cakap.
“Bukannya aku mau ikut campur urusanmu dan bukan juga aku membela ibumu. Setiap orang punya masa kelam, dan saat dia kembali dengan dirinya yang baru, seharusnya bukan masa lalu lah yang diungkit, tapi besar niat untuk berubah di kehidupan masa depan lah yang harus dinilai,” ceramah Adit.
“Sempat dengar kan? Tentang kalimat yang mengatakan bahwa orang yang mulia adalah orang yang mau memaafkan orang lain yang jelas-jelas pernah menyakitinya. Dan aku juga sempat dengar bahwa kebanyakan anak perempuan itu mewarisi sifat ayahnya. Jika ayahmu dengan mulianya, dengan ikhlas menerima ibumu kembali tanpa mengusik masa lalunya. Ibumu juga menunjukkan bahwa dia teramat menyesal melakukan semua tindakannya dulu . Seorang Ratna yang kuyakini dia adalah orang berhati mulia dibalik semua kediamannya,” aku tetap mendengar semua ucapan Adit dengan menunduk dan menangis di pusara Ayah.
“Maafkan ibu nak. Ibu tahu ibu berdosa besar telah meninggalkanmu seperti dulu,” kata ibu. Dia telah berdiri di belakangku. Malam ini penuh air mata di pusara ayah. Aku yakin ayah juga merasa bagaimana peliknya masalah yang sedang kuhadapi. Berhadapan dengan perasaan yang masih belum bisa kupaksakan. Mengetahui ada ibu disitu, aku ingin beranjak pergi.
“Kalian hanya membuatku semakin sakit,” dengan agar berteriak hingga akhirnya aku berlari meninggalkan sosok ibu yang masih berlumuran air mata. Tak berapa lama dan tak kusangka, ibu mengejarku. Dengan memanggil-manggil namaku ia terus berlari menyusulku. Aku pun menambah kecepatan berlariku hingga telah berada pada tepi jalan. Langkahku terhenti seketika setelah kudengar bunyi tabrakan di jalan yang telah kulewati. Aku tertegun beberapa saat, Adit memanggil namaku yang kini berdiri mematung melihat raga yang tergeletak di depan roda truk tersebut. Itu ibu. Yah, ibu yang tadi mengejarku kini tergeletak berlumuran darah. Aku hanya bisa melihat segala yang dilakukan oleh orang-orang terhadap ibu mulai dari diangkatnya kedalam truk hingga truk tersebut hilang melaju. Tetesan air mata menyerangku saat Adit menghampiriku. Dia kemudian mengajakku kerumah sakit tempat ibu dibawa oleh truk tadi.
Seorang dokter saat dia keluar dari dalam ruang ICU tempat ibu mendapatkan perawatan. Dan mengatakan bahwa ibu ingin berbicara denganku. Dengan lebam dan balutan perban di kepalanya, ibu tersenyum melihat kedatanganku. Aku duduk di sebelahnya.
“Ratna, kali ini adalah pemohonan maaf ibu yang terakhir kalinya. Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi meminta maaf kepadamu nak. Ibu tahu kesalahan ibu terlampau berat hingga kamu belum pernah memaafkan ibu. Tapi sungguh, ibu meminta maaf dari hati ibu. Ibu mohon nak, maafkan ibu! Ibu tidak akan pernah tenang sebelum mendapatkan maaf darimu,” ucap ibu yang membuat air mataku mengalir pelan. Tangan lembut ibu mengusap air mataku. Lembut sekali. Dan entah mengapa tergerak tanganku untuk mengambil tangan ibu yang membelai pipiku dan menciumnya.
“Maafkan aku juga ibu, aku sudah membuat seperti ini,” ucapku disela-sela tangisku. Ibu tersenyum sangat indah, tak pernah kulihat senyum ibu seperti ini sebelumnya. Tampak jelas kebahagiaan pada wajah ayunya.
“terima kasih nak. Ibu adalah orang yang paling bahagia saat ini. Kamu tahu, satu impian ibu adalah mendengar kamu memanggil ibu dengan sebutan ibu. Dan kali ini ibu mendengarnya. Ibu sudah damai mendengarnya nak. Ibu menyayangimu, sungguh. Tapi ibu belum bisa mengganti semua perlakuan ibu dulu dengan merawatmu hingga nanti. Maafkan ibu yang selalu merepotkanmu,” air mata mengalir deras di pipi ibu, begitu pula denganku. Aku hanya mengangguk menanggapi perkataan ibu. Setelah itu, aku hanya mendapati ibu menutup mata. Aku diam. Sedangkan dokter yang sedari tadi ternyata menyaksikan perbincanganku dengan ibu, segera bertindak mengetahui ibu yang telah tak sadar. Tak berapa lama kain putih menutup sempurna sekujur tubuh ibu. Aku masih linglung dengan kejadian ini. Sementara Nisa, adik tiriku yang mungkin sudah memahami bahwa ia akan kehilangan seorang ibu, ia menangis sejadi-jadinya di samping jasad ibu.

Guguran bunga kamboja mengiringi perjalanan ibu bertemu ayah pagi ini. Aku dan Nisa duduk disamping pusaranya ketika gundukan tanah itu telah rapi terbangun. Semua orang yang berada disana tadi, sedikit demi sedikit beranjak pergi. Hanya tinggal aku, Nisa dan Adit yang masih mematung.
“Kakak, Ayo kita pulang. Ibu sudah bahagia disana,” ucap Nisa lirih. Segera kuturuti langkahnya menjauh dari dua pusara yang telah damai. 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar