Keesokan harinya,
tepatnya hari senin, aku harus menjalani rutinitasku. Ku gerakkan kakiku menuju
ruang makan. Disana papa dan mama telah siap menungguku. Tapi aku acuh. Aku tak
melirik sedikitpun meja makan. Berpamitan dan berangkat ke sekolah juga dengan
malas.
"kenapa loe Cha? Murung banget. Sembab lagi. Habis banjir air mata semalam?
Pasti ada masalah sama Rafa si oon itu yah? Hehehe," sapaan Avril menyembut
kedatanganku di sekolah. Kutunjukkan wajah muramku.
"husst... Loe tuh Vril. Udah tahu Chacha lagi sedih, masih juga di bercandain.
Kenapa Cha? Cerita dong sama kita!" Tya memandangku dengan wajah meyakinkan.
Dia memang selalu menunjukkan sifat ketulusannya jika sahabatnya sedang gundah.
Namun sayangnya aku sudah malas bicara. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai
cerita pada sahabatku ini.
"gue nggak di bolehin ikut acara Meet N Greet. Iiih gue tuh benci banget
deh sama papa, mereka tuh nggak tahu keinginan gue.," aku mengawali ceritaku
dengan sedikit emosi dan aliran air mata tiba-tiba.
Tya dan Avril diam sejenak.
"gue tuh pengen banget ikut acara itu. Loe berdua tahu kan kalau acara itu
bener-bener berharga buat gue. Papa ngasih alasan yang nggak penting buat gue.
Masa gara-gara takut kejadian yang lalu, gue nggak di bolehin," tambahku lagi,
kali ini semakin deras aliran air mataku.
"yah mungkin aja emang bener kata bokap loe Cha. Artinya dia nggak mau lihat
loe terluka kayak dulu lagi," Tya menanggapi curhatanku dan mendekapku, membiarkanku
menangis dalam pelukannya.
"loe kok malah gitu? Kenapa malah dukung orang tua gue? Kejadian itu udah
lama. Itu dulu. Sekarang dan dulu itu beda," jawabku bertambah emosi. Ku tegapkan
tubuhku dan kutunjukkan sirat kekecewaan
dengan tanggapan Tya. Secara reflek Tya jadi gelagapan melihat tingkahku.
"maksudnya Tya bukan gitu Cha. Kita tuh emang pengen dukung loe, tapi......"
belum sempat Avril melanjutkan omongannya, aku mencekatnya.
"tapi apa? Bilang aja kalau loe tetap membela keputusan bokap gue, iya kan?
Udah ah gue pusing, percuma juga gue cerita ke loe," aku berlalu meninggalkan
Tya dan Avril. Sambil tersengguk aku berlari masuk ke dalam kelas.
Sedangkan Avril dan Tya masih terbengong melihat tingkahku. Tiba-tiba muncul
Rafa, menghampiri mereka.
"ngapain loe disini? Mana Chacha? Bukannya tadi disini bareng loe berdua?"
Rafa mulai berkata.
"loe nanya apa ngrampok sih? Nanya satu-satu aja kenapa," Avril bersungut.
"tadi emang Chacha disini, tapi sekarang dia udah ke kelas duluan. Dia marah
sama gue," kata Tya pelan.
"kenapa? Tumben?" Rafa kembali dengan wajah penuh selidik.
"jadi gini. Tadi Chacha datang dengan sedih. Terus dia cerita katanya dia nggak
dibolehin bokapnya buat ikut acara idola itu. Yah gue sih cuman bilang kalau
mungkin aja bokapnya bener. Eh malah dia salah paham. Dia bilang gue sama kayak
bokapnya, nggak pernah ngerti kebahagiaan dia," Tya bercerita panjang lebar
ke Rafa. Sementara Avril hanya sesekali mengangguk membenarkan omongan Tya.
"oh gitu ceritanya. Chacha emang keras kepala banget. Jujur aja gue juga setuju
sama bokapnya. Dia itu nggak tahu kalau semua orang sayang sama dia. Ya
udahlah, entar gue samperin dia. Kalau bisa, entar gue kasih penjelasan ke dia
deh. Udah yuk masuk kelas! Mau bel juga," Rafa mengakhiri pembicaraannya.
Tya dan Avril segera beranjak menuju kelas.
Pelajaran seharian ini kulalui dengan malas dan tak konsentrasi sama sekali. Pukul
15.00 bel tiba-tiba berbunyi pertanda pulang. Dengan malas kubereskan bukuku. Sementara
guru dan beberapa siswa sudah keluar.
Rafa muncul di balik pintu kelas. Aku hanya meliriknya. Tya dan Avril juga hanya
diam. Selama pelajaran tadi, aku memang hanya mendiamkan Avril dan Tya.
"hay Cha," sapa Rafa menghampiriku. Kubalas sapaannyz hanya dengan memandangnya
sesaat tanpa berkata.
"Cha, Tya sama Avril udah ngasih tau kok kalau loe marah sama mereka.
Jangan gitu dong Cha. Mereka nggak bermaksud apa-apa. Mereka cuman mau menghibur
loe. Mereka nggak mau kalau loe sedih," Rafa panjang lebar berkata padaku.
Tak kutanggapi dengan serius semua kata-katanya.
"udah ngomongnya? Bilang aja Raf kalau loe juga dukung keputusan bokap gue
kayak mereka. Oke kalau emang mereka niat ngehibur gue. Tapi bukan dengan kayak
gitu. Bukan malah ngebuat gue patah semangat. Udah lah, percuma juga gue ngomong
sama loe bertiga. Di dunia ini emang nggak pernah ada orang yang ngerti kebahagiaan
gue," aku masih ngotot dan emosi. Setelah berkata seperti itu pada Rafa,
Tya dan Avril, aku setengah berlari meninggalkan kelas. Ku tahan air mataku.
Entah kenapa sakit hatiku melihat semua orang tidak ada yang peduli dengan kebahagiaanku.
Akupun pulang ke rumah dengan miris.
Sementara di kelas, Rafa, Tya dan Avril masih terdiam melihat tingkahku tadi.
Hingga akhirnya Tya membuka perbincangan.
"gue makin pusing ngadepin Chacha,"
"iya, gue juga. Tapi gue juga ngerasain sih gimana perasaan Chacha. Loe berdua
tahu kan dia tuh bener-bener udah seneng bakal ikut acara itu. Sampai-sampai
udah disiapin semuanya. Eh ujung-ujungnya dia nggak dibolehin. Gue juga bisa ngerasain
gimana sakitnya kalau sesuatu yang bikin kita bahagia tapi malah ditentang orang
lain. Loe tahu nggak, dia bela-belain buat kado spesial hanya untuk acara itu,"
ujar Rafa kemudian.