Sabtu, 23 Juli 2016

Lelakiku

Sebagaimana aku tlah berjuang, yang kini kupersingkat dalam doa tersebut namamu
Yang kutahu, aku hanyalah awam bagimu
Nihil, kau sama sekali tak berjuang
Lantas, apalah dayaku jika hanya hatiku yang terpenuhi oleh hasrat menggenggam erat tanganmu
Sementara namaku saja tak pernah teringat di benakmu

Kau, musikalisasi terindah yang pernah kudengar
Kau dendangkan irama yang tak lumrah
Pribadimu, teramat indah
Idealismemu, pantas bukan jika aku menganguminya?
Jika kau sadar, aku bukan wanita yang mengangumi parasmu
Idealismemu itu, lagi-lagi, aku membutuhkannya
Tidak bisakah kau biarkan aku memutar jalanku untuk seiring denganmu
Tak apa, aku sedia pada aturan mainmu

Kau penuh intuisi
Kau selalu hadir dalam decak irama yang kau dendangkan sekenanya
Petikan nadamu malam-malam itu
Tidak bisakah itu terkhusus untukku? 
Tidak bisakah puisi-puisiku yang kau harmonisasikan dalam irama terindahmu
Ah, khayalanku kelewat batas ya? 
Biar. Aku mengagumimu

Semua tentangmu masih saja indah
Tak apa jika kau tak selayaknya pria lain yang meluangkan banyak waktu untuk tuan putri terkasihnya
Aku tak peduli
Bukan tak butuh
Tapi aku tahu, kau punya segudang cara indah menggunakan waktumu
Dan saat aku bersamamu, tlah kusiapkan dua telinga dan mata untuk masuk secara dalam ke dalam bait-bait syairmu, ke dalam perjalanan sarat makna yang seharusnya kita lewati bersama
Aku percaya, aku tak lagi bodoh jika aku dan kamu menjadi kita
Aku bukan wanita yang akan menagih janji untuk sekadar kau temani saat malam tlah menjadikan udara merangsek masuk mendinginkan semua
Kehangatan dari sang terkasih, tak kupungkiri itulah idaman dari wanita
Pun sebenarnya tanpa kemunafikan aku akan berkata bahwa aku menginginkannya
Tapi aku tahu, malam-malammu dengan secangkir kopi lebih intim dan nikmat
Malam-malammu dengan rekananmu akan menjadikan aku pribadi yang tak lagi bodoh, semacam sekarang ini
Aku wanita tangguh yang senantiasa berproses memantaskan diri untuk bahagia bersama idealismemu, romantika khasmu, kopimu, nada-nadamu
Biar tak kuumbar sekenanya sekarang ini
Biar kusimpan karena kau masih menunggu sang peri indahmu, di jalanmu
Dan aku masih menunggumu, dii jalanmu

Minggu, 31 Maret 2013

puisiku


Guratan Tangan Tuhan

Nafas masih enggan menjauh dari sukmaku
Sakit belum juga mengatakan permisi untuk singgah diragaku
Apalagi ruh, sudah sesak namun tetap tak beranjak
Barangkali masih terlampau hina jika hanya untuk bertemu dengan-Nya segera
Barangkali masih segumpal, selembar, sederetan
Atau entahlah..

Aku sudah meronta teman
Tidakkah kau menjamahku?
Aku sudah cukup tak berarti
Lantas masih untuk apa aku disini?
Kudamba layaknya mereka
Meski berjuang namun ada sayang
Meski lara namun sosok penguat senantiasa disampingnya

Padahal aku tak hanya mengucap
Merendah, bersujud tak luput kulakukan
Sang penguasa belum berkumandang
Entah hingga seperti apa aku nanti..


puisiku


Dalam Kesendirian

Aku belajar dari sebuah keterpurukan
Aku belajar, tentang bagaimana tetap bertahan meski dalam kelumpuhan
Aku belajar memahami arti tiap bulir air mata
Sampai nanti aku akan tetap belajar
Bagaimana harus bungkam saat tak ada yang sudi mendengar

Terlampau banyak lekuk kisah yang ingin ku bagi
Tapi aku tak lagi menutup mata
Aku tahu mereka tak pernah bergairah
Aku tahu aku tak pernah menarik bagi mereka
Hingga aral haruslah kulewati sendiri
Hingga setumpuk kesal masihlah milikku sendiri
Hingga jalan ini haruslah kunikmati sendiri
Sampai nanti diujung jalan itu